www.wartaiainpontianak.com – 23 Agustus 2019 Sungai Bakau Besar Laut Kabupaten Mempawah. Malam itu di kediaman Ibu Gusti Sahril atau biasa dipanggil Bu De. Setelah rapat evaluasi untuk kegiatan besok, kami semua bersiap untuk tidur tetapi, saya mengurungkan diri untuk tidur, saya hanya terbaring saja sambil melihat isi Handphone, tiba-tiba saya kepikiran untuk membaca sejarah Mempawah, satu persatu saya telusuri di Google terlihat sebuah blogspot dari Wan Mohd. Sanghir Abdullah yang menjelaskan tentang muftih kerajaan Mempawah.
Saya baru tahu bahwa setelah wafat Habib Husain bin Ahmad Al-Qadrie Jamalullail (Yaman), ada yang menggantikan beliau sebagai mufti Mempawah yaitu Syech Ali bin Faqih Al-Fatani. Fattani sebuah nama provinsi yang terletak di Thailand selatan. Sehingga beliau biasa dipanggil Syech Ali Al-Fatani atau Keramat Pokok Sena.
Setelah membaca blogspot Wan Mohd. Sanghir Abdullah. Saya tertarik untuk mengunjungi makam Syech Ali Al-Fatani yang berada di Pedalaman Mempawah, kemudian saya bertanya dengan teman-teman KKL mengenai makam beliau. Tetapi, tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya.
Akhirnya saya memutuskan untuk menyebarkan informasi ini ke group-group WhatsApp. Tidak menunggu lama, ada yang merespon pertanyaan saya di group Pakrab (Perkumpulan Anak Keturunan Arab Kalimantan Barat) namanya Arif Husain Bilkhair.
Arif Husain Bilkhair memberitahukan saya tentang daerah makam Syech Ali bin Faqih Al-Fatani.
“Kuburan beliau di Pedalaman beb sebelum jembatan, ana pernah ngantar Habib Duha’ Al-Hamid dari Papua ke makam beliau,” ujarnya.
Besok harinya jam 09.00 saya dan Bu De pergi ke Mempawah mengunjungi keraton Amantubillah. Sesampainya disana, kami di sambut dengan menantu Pangeran Mardan. Kami pun mulai berbicara panjang lebar mengenai sejarah keraton dan muftih-muftihya. Saya sempat menanyakan makam syech Ali Al-Fatani, tetapi lagi-lagi ia tidak mengetahuinya. “Saya tidak kenal beliau, saya hanya kenal habib Husain saja” katanya.
Hampir satu jam kami pun menjeda pembicaraan dan izin pamit pulang. Saya menjadi semakin penasaran dikarenakan tidak ada mengenal beliau. Saya dan Bu De memutuskan untuk tetap mencari makam beliau.
“Kite harus ketemu makam beliau Bu De,” ujar saya.
Kami pun mulai bertanya dengan warga sekitar Pedalaman, tetapi tidak ada satu orang pun yang tahu. Kami pergi di desa Sejegi, disana banyak makam para ulama dan raja-raja Mempawah. Siapa tahu ada disana. Sesampainya di Sejegi, kami hanya menemukan makam Raden Adinata (Biras Habib Husain), kami pun mulai bertanya dengan salah satu warga Sejegi mengenai makam Syech Ali, akan tetapi mereka tidak tahu. Saya dan Bu De semakin penasaran, “Siapa sebenarnya Syech Ali ini, kok tidak ada yang kenal,” ucapku dalam hati.
Saya menelpon Arif mengenai kuburan beliau dengan jelas, kemudian saya menjelaskan dengan salah satu warga Sejegi. Ia langsung membawa kami ke tempat yang ditujukan Arif.
“Coba aja, mungkin disini makamnya, soalnya petunjuk dari kawan abang disini kuburannya, di depan makam raja-raja Mempawah Pedalaman,” ujar warga Sejegi.
Ia pun langsung pulang setelah mengantar kami. Kami mulai masuk makam, disana terdapat banyak kuburan. Uniknya, banyak kera yang akan kita temui ketika kesana karena, hutan liar masih dapat dilihat di belakangnya. Satu persatu saya melihat makam terdebut, masing-masing makam memiliki namanya sedangkan yang di ujung tidak memiliki nama. Makamnya paling besar, batu nisannya panjang menggunakan kayu belian, berwarna putih hijau. Seperti yang Arif tunjukkan fotonya kepada saya kemarin. Alhamdulillah saya bersyukur bisa menemukan makam beliau. Saya berharap,
“Semoga sejarah para ulama-ulama diabadikan agar selalu di kenal oleh semua orang, dan kuburannya di hias dengan rapi dan diberikan tanda, agar warga sekitar mengetahui .“
Penulis: Irfan Falogah
Editor: Syarifah Desy Safitri Syihab