Home / Cerita Pendek / TANGISANKU PECAH MENGINJAK KEPALA DUA

TANGISANKU PECAH MENGINJAK KEPALA DUA

Anjinggg….. teriakku melengking mengalahkan deras hujan, aku berjalan sempoyongan dengan botol kaca yang sudah pecah. Mataku berair, telapak kakiku tidak beralas. Dengan membawah kertas HVS dari manusia yang mengaku makhluk suci yang gila kerhormatan dengan tulisan ACC. Dengan semboyongan aku berteriak-teriak di gedung putih yang megah. Dengan paduan kilat, petir yang menyambar tanpa arah. Aku berteriak tanpa lelah. Semua rasa saat ini tidak dapat aku rasakan. Dengan semboyong aku menagis pilu setelah itu semuanya mengelap. Detik itu juga aku tidak merasakan apapun kecuali petir yang berlomba-lomba bersuara. Dan di kegelapan itu aku teringat bahwa hari ini adalah hariku mengijak kepala dua.

Di gerimis titik air aku berdiri didepan gedung berwarna putih tegak yang bertulisan rektorat. Aku tidak tahu, berapa lama aku terdiam. Saat lembaran kertasku tercoret tanpa arah, tanpa kata hanya gelombang garis tanpa bisa di baca. Aku tersenyum pilu melihat coretan tinta hitam yang terpampang jelas di kertas itu, seberapa banyak lagi kertas yang harus kuhabiskan demi tugas akhir ini. Terkadang aku tidak masalah beberapa banyak kertas yang telahku habiskan akan tetapi waktuku yang menunggu kepastian dari pebimbing yang memberiku arah. Sesulit itukah waktumu untuk mengarahkanku, aku tahu mahasiswamu bukan hanya diriku. Aku Aldi, pria yang terkenal ambisi oleh teman-temanku. Aku sudah mengijak semester akhir dengan hasil penelitian yang cukup relevan, banyak sekali temantemanku iri kepadaku saat nilai di kelasku bagus. Apalagi aku adalah teraktif dikelas, jika didalam organisasi aku sangat terkenal dengan jiwa pemimpinnya. Maka diluar lingkup kampus aku terkenal dengan sosialisasinya, mengajar anak jalan di pelosok perdalaman kota. Akan tetapi aku tidak bangga dengan itu semua. Jika tugas akhirmu belum di laksanakan, maka kau akan merasa gagal disemua yang kau bisa. Masih menunggu didepan rektorat untuk bimbingan sekian kalinya. Aku terdiam meratapi timpahan gerimis. Aku menatapi pantulan sepatu hitamku. Lagi-lagi aku terbayang wajah pria tua yang tidak mudah lelah itu yaitu Bapakku.
Bapakku memang pria yang perkasah, pemberani, serta pria yang pantang menyerah. Aku suka sekali karakter Bapak. Akan tetapi tandi pagi Bapakku mulai mengeluh, mungkin saja ia sudah lelah dengan ucapku.

“ Bagaimana Nak, apa sudah ada kemajuan?” Pertanyaan Bapak dengan wajah yang sangat lelah.

“ Masih belum ada kemajuan Pak” Ucapku.

Aku dengar Bapakku menarik nafas berat. Lalu Bapak berkoar-koar tak biasanya Bapak seperti ini. Ia marah besar. Mungkin ia sudah lelah membayar uang tunjangan tunggal (UKT). Bukan salah Bapak juga, jika Bapak marah karena seusia Bapak memang harus sudah rehat dalam perkerjaanya. Tapi Bapak tetap masih berkerja sebagai, penyapuh jalanan, tukang ojol bahkan aku pernah lihat Bapak sebagai kuli pikul barang keluar. Aku selalu salut dengan beliau. Ia mampu membayar uang kuliahku dengan hasil kerja kerasnya Waupun aku juga membantu berkerja part time akan tetapi masih belum bisa aku membayar uang kuliahku sendiri. Bapak tidak pernah mengeluh, semuanya ia lakukan untuk anak-anaknya.

Bapak….
Mungkinkah kamu berharap aku mengantikan posisimu? Apakah kamu sudah lelah menunggu kesuksesanku?
Maafkan aku Bapak, aku sudah berapa kali merevisi tugas akhir ini tapi selalu saja di persulit. Oleh manusia yang berlaga suci yang berkata manis akan tetapi mejatuhkan mental manusia yang menjilatnya. Ingin rasanya aku menyerah Bapak, akan tetapi melihat Ibu terbaring lemah, dengan wajah yang pucat dengan berbaris obat. Yang tak pernah ditinggalkan oleh Ibu. Ibuku terkenak penyakit Diabetes, sebagian kakinya sudah ranap di makan medis. Aku yang anak pertama dari kelurga ini, merasa bertangung jawab atas tugasku mejaga Adik-adikku yang masih belia. Pasti Adik-adikku berharap bahwa aku akan sukses dan menjadi panutan untuk mereka. Bohong sakali bahwa aku ingin menyerah.

Lagi-lagi untuk sekian kalinya aku menghubungi pemimbingku. Tapi tidak ada tanda-tanda respon darinya. Aku mencoba untuk tidak menyerah. Apapunku lakukan untuk cepat menyelesaikan tugas akhir ini. Ya Allah, doa apalagi yang dirimu mau. Sesulit itukah, menemukan mahklukmu itu. Didalam hatiku berzikir.

Di balik pohon aku tersandar memandang kampus. Aku tersenyum. Dulu, akulah yang ingin kuliah. Aku ingin menunjukan bahwa anak dari tukang ojol bisa sukses. Tapi setelahku lewati. Benar-benar jalanya berliku dan tajam. Demi apapun akanku lakukan untuk mendapatkan gelar yang Aku impikan. Masih bersandar tak sengaja mataku melihat orang yangku cari, pria yang berpakaian kemeja itu sedang menuju mobilnya. Dengan tergesah-gesah Aku menghampirinya. Dengan rasa hormat Aku mengucapkan salam.

“ Bapak, boleh saya bimbingan” tanyaku sambil tersenyum ramah.
“ Kamu itu tidak sopat, tanpa konfirmasi langsung minta bimbingan, mana sopan kamu” ucapnya sambil menarik nafas berat.

“ Maaf pak, tadi saya sudah hubungin Bapak, tapi Bapak tidak merespon. Saya sudah mengingati Bapak bahwa hari ini jadwal konsul saya” jawabku dengan nada ramah dan menyesal.

“Kamu tahukan. Jika orang tidak merespon tandanya apa?. Saya banyak urusan, jadi saya tidak bisa untuk di nganggu hari ini, mana punyamu?” Aku pun mengeluarkan lembaran kertas yang sudahku tata rapi serapi mungkin.

“Ini masih ada kesalahan dalam penulisanya, yang ini kamu dapatnya dari mana, lalu ini perlu di cari lagi sumber-sumbernya, mau revisi, tulisan kamu saya masih belum kamu rapikan. Sok sombong aja kamu Aldi-Aldi” ucapnya mencemohku sambil mencoret lembaran yang tadi rapi menjadi berantakan.

“Ini kamu berbaiki lagi ya, jika selesai hubungi saya, saya yang akan ACC, capek juga saya ketemu kamu terus, seminggu saya tunggu diruangan saya. Jangan telat kamu jika telat saya gak akan bantu kamu lagi”
Dengan mata berbinar, setelah sekian lama. Akhirnya penantianku tercapai. Tidak lama lagi tugas akhir ini selesai. Dengan senyum mengembang aku berterima kasih kepada pria itu.

“ ingat jangan telat ya, saya tidak terima dengan alasan apun jika telat”.

Aku menelusuri kampusku dengan rasa percaya diri. Dengan bangga aku nongkrong dikantin. Tempat biasa aku dan teman-teman berdiskusi dan bercerita.Disitu ada Rama, Bimo, Ipul dan Sigit.

“Tumben Bro datang ke sini, galau ya?” Tanya Bimo. Aku hanya tersenyum membalas ucapan Bimo.

“Duduk Al” Ucap Rama. Aku pun duduk disamping Rama.

“Eh kamu tahu gak tempat enak buat tenangkan pikiran” Tanya Ipul “Clum malam, sambil mabok enak Pul” Ucap Rama sambil cegegesan.

“Gas aja kali bro kesana, galau ini” Jawab Ipul.
“Aku kemarin lihat Udin, sepertinya dia mabok banget, dia teriak-teriak gak jelas dijalan” ucap Sigit.

“Udin, anak falkutas hukum itukan. Oh… walah, dia itu di DO” ucap Rama.
“Wajar sih jika dia gila, aku aja kalo di gitukan, bakalan stress berat. Nah sekarang aku stress sama tugas akhirku. Gas yok mabok” Ucap Ipul mengebuh gebuh.

“Aku gak dulu deh Pul” Tolakku dengan ramah.
“Gak asik lo Aldi, padahal aku yang bakalan traktir kalian semua”
“Aldi itu anak baik Bro, gak pernah dia datang ketempat haram, bukan sepertimu” Ucap Rama.

Dan jujur saja, yang di ucapkan Rama itu benar. Bahwa aku tidak pernah pergi ke tempat seperti itu. Bahkan merokok saja aku tidak pernah. aku hanya fokus dengan kegaitanku. Yaitu kuliah, organisa dan relawan. Waupun aku tidak pernah, tapi aku tahu tempat-tempat gelap itu.

Seminggu sudah aku lalui, dengan rasa percaya diri aku memperbaiki skripsi yang telah di janjikan oleh Dosen itu. Aku rasa seratus persen ini akan di ACC. Akan tetapi ada kabar buruk, Ibuku semakin parah kondisinya. Dari kemarin Aku ngantar ke puskesmas terdekat untuk periksa penyakit Ibu. Dan pagi ini kami berkumpul, meratapi Ibu, ada Adekku yang enggan untuk pergi sekolah dengan keadaan kondisi Ibu yang semakin para. Bapak masih mondar-mandir mencari bantuan.

“Mas”
“Hm” ucapku karena aku masih kebinggungan, hari aku konsul dengan Dosen pemimbingku akan tetapi Ibuku sakit parah.

“Selamat ulang tahun ya Mas” aku menatapnya dengan kesal, bisa-bisanya ia mengucapkan di saat Ibu kesakitan.

“Al, kamu tidak usah bimbingan aja, Bapak sangat butuh bantuan kamu untuk membuat rujuk untuk Ibu kerumah sakit besar. Bapak capek dari kemarin ngurusnya tidak ditanggapi adminya. Kamukan anak kuliah. Pasti kamu paham. Bapak mau urus pakai Ibu kamu. Juga untuk di bawa” Ucapan Bapak.

“Gak bisa Pak, Aldi hari bakalan ketemu Dosen” jawabku tegas
“Tolong kali ini aja Nak”
“Gak bisa Bapak, Aldi yakin hari ini Aldi bakalan di ACC oleh Dosen Aldi”
“Tolonglah Nak, kali ini saja Bapak mintak tolong sama Aldi. Anaknya pertama Bapak. Bilang aja kedosen kamu bahwa Ibu sakit. Pasti Dosen kamu mengerti”
Aku menatap bapakku berapi, sudah satu langka lagi aku merai mimpi aku tapi dengan tega Bapak merusaknya. Sudah berapa lama aku menantikan hari. Aku tahu saat ini darurat. Tapi aku yakin setelah aku bimbingan aku datang kemarin untuk membantu Bapak dan Ibu.

“Bapak tahu Aldi menantikan moment ini sudah lama sekali Pak. Untuk kali ini Aldi tidak bisa Pak. Maafkan Aldi”. Kutatap Bapakku, Bapak yang tak pernah menagis itu. Hari ini menagis. Ku yakinkan sekali lagi pria itu menagis. Apakah Bapak terluka, apakah berkataanku menyakitkan.
Akan tetapi Aku, tetap Aku Aldi Feriyansah Aku tidak akan goyah dengan pendirianku. Kuberjalan didetik jarum jam delapan pukul lima belas menit. Meninggalkan Bapak yang masih terbaku. Berharap aku kembali ke Arahnya.

Dengan tergesah-gesah aku memasuki ruangan rapi dengan meja penuh dengan buku-buku yang sudah tertata rapi diatasnya. Dosen pemimbingku menungguku. Dengan angkuh dia berkata.

“Kamu telat, Saya tidak suka orang yang telat”
“Maaf Pak, Ibu saya sakit, tadi mau rujuk kerumah sakit Pak”
“Semua Mahasiswa, Alasannya sama, muak saya”

Setelah, berkenan dengan drama seorang Dosen dan mahasiswa, sebelum di ACC saya disuruh mendengarkan ocehannya yang bisa sukses sampai sekarang. Ia juga membanggakan dirinya karena sering mendapatkan penghargaan. Aku sudah mengeluh menunggu ia menkoreksi skripsiku. Karena dari tadi ponselku bergetar dari Bapak, Agisna yaitu Adekku dan Anggi Adik keduaku. Aku ingin mengakat ponselku itu Aku khawatir terhadap Ibu.

“Kamu dengar gak sih, ucapan saya dari tadi kamu perhatikan hpmu terus, saya di hargai gak disini”
“Maaf , atas kesalahan saya. Tapi mohon maaf pak, Bapak saya nelpon saya Pak boleh diangkat”
“Muak banget saya nemu Mahasiswa yang bentuknya kayak kamu”

Aku hanya terdiam saat ia berkata seperti itu, setelah itu ia langsung menanda tanganin cover depanku dengan tulisan ACC. Aku pun tersenyum senang.

“Ini saya tanda tangan terpaksa ya, saya kesal banget sama kamu”
“Terima kasih pak, Sekali lagi terima kasih banyak” ucapku sambil menyalam tangannya. Benar-benar senang sekali aku saat tinta hitam itu terpambang jelas di cover kertas HVSku.

Aku berlari keluar dari rungan terkutuk itu. Dengan hati gembira kubawalah berkas itu dengan nyanyi ria untuk memberi tahu Bapak bahwa aku sudah mengabulkan janjiku kepadanya. Setelah sampai dirumah. Rumah kosong. Mungkin Bapak sudah membawa Ibu kerumah sakit besar.

“Nak Aldi” Ucap tetangga samping rumah.
“Iya, bu” Ucapku ramah
“Tadi dapat pesan dari Adiknya Nak Aldi, bahwa Bapak masuk rumah sakit, Ibu juga masuk”
“Kok Bapak sih Buk” Tanyak ku
“Gak Tahu juga Nak, Ini dapat chat dari Aghisna. Adeknya Nak Aldi, Bapak masuk rumah sakit Walsillah, Ibu rumah sakit Fash”
Akupun semakin kebinggungan kenapa bapak juga masuk rumah sakit. Jantungku mulai tidak karuan. Aku pun berterima kasih ke tetangga lalu berlari pergi kerumah sakit yang telah di infokan.

ditempat lorong gelap, lampu yang remang aku menghampiri temanku dengan
rasa gelisa dan kosong, Disana ada Ipul, Bimo, dan Rama.

“Tumben Al, kamu kesini, biasa di ajak gak mau” Ucap Ipul
Aku hanya diam, duduk di pojok belakang dengan suasana gelap. Kulihat Bima lambaikan tanggan kearah pelayan. Datang pelayan dengan membawa dua botol bening. Yang aku tahu itu alkohol.

“Bang, aku pesan dua botol lagi ya, teman saya pengen mabok keknya” Ucap Ipul sambil berteriak karena suaranya ketutup dengan suara musik yang tidak teratur sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku menepis tangan Ipul dengan pelan. Ku dengar musik beredum semakin nyaring. Bima menuangkan ku air. “Diminum Al” Ucap Bima.

Aku pun meminum air bening di gelas kecil itu. Pertamaku telan rasanya pahit dan berbau aneh. Rasanya kebakar di tenggorokanku. Lalu kuteguk lagi, rasanya tidak buruk dan membuatku candu untuk mencoba lagi dan lagi. Setelah aku berfokus keminumanku perasaanku mulai aneh. Kepalakku mulai pusing. Sulit sekali aku mengendalikan tubuhku. Rasanya aku terbayang wajah Aghisna adikku itu. Mukanya yang merasa bersalah menghampiriku.

“Mas” teriak Aghisna
Akupun melihat ruangan bernusa putih itu seorang pria didalamnya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Mas, bapak kecelakaan saat di perjalanan” Ucap Agisna perau menahan air mata. “ Agisna takut Bapak ken_
“Diam Aghisna” teriakku kasar dengan begitu Aghisna terdiam kaku didepanku.’’Ibu dimana?” Tanyaku lagi.

“Lagi sama Anggi, ibu masuk rumah sakit” ucapnya sambil menunduk.
Empat lima menit sudah berlalu, Bima masih setia menuangkan alkohol di gelasku. Aku sudah mengoceh tidak jelas keteman-temanku. Yang di balas tawa oleh mereka. Tiba-tiba kerah baju ku ditarik oleh Sigit yang tiba-tiba masuk dari mana.

“Sialan kamu Al, Bapak lo meninggal Anjing” teriak Sigit didepan mukaku’’ kamu tahu gak Bapak kamu meninggal, kamu santai-santai disini. Mana perasaanmu Al” ucap Sigit emosi.
Dengan rasa kesal, aku pun medugem Sigit dengan tanganku. Tanpa merasa aku tertawa bahagia. Temanku berusaha meraiku dengan Sigit. Sigit tidak mau kalah ia pun memukulku dengan tinjunya yang mengenai pipiku yang terasa perih.

“Bunuh aku Git bunuh…”
“Aku gak tahu kenapa jadi begini, Aku mau Bapakku tetap disampingku Git, aku gak mau kehilangan Bapakku Git.”’ Ucapku perau menahan emosi, sedih yang sudah di ujung.
Sigit terdiam di depanku dan temanku juga memperhatikanku prihatin. Kuambil botol bening yang sudah kosong. Dengan sempoyonganku berjalan, dengan emosi membara.

Anjinggg..
Teriakku melengking mengalahkan deras hujan, aku berjalan sempoyongan dengan botol kaca yang sudah pecah. Mataku berair, telapak kakiku tidak beralas. Dengan membawah kertas HVS dari manusia yang mengaku makhluk suci yang gila kerhormatan dengan tulisan ACC. Dengan semboyongan aku berteriak-teriak di gedung putih yang megah. Dengan paduan kilat, petir yang menyambar tanpa arah. Aku berteriak tanpa lelah. Masih terbayang gigihnya muka Bapak tadi pagi memintaku untuk menolangnya. Aku tidak tahu menjelaskan semuanya. Semuanya tiba-tiba. Kubayangkan muka pria berkemeja itu ingin rasanya kucabik-cabik perutnya dengan botol pecah ini. Masih meraung di deras hujan. Aku meriaki namanya.

“WOII ANDREW TURUN KAMU SIALAN, AKU GAK BUTUH ACC KAMU SIALAN, KEMBALIKAN BAPAK KU ANJING”
“ANDREW EMANG ANJING, KAMU EMANG MAHKLUK ANJING LEBIH DARI ANJING”

Semua rasa saat ini tidak dapat aku rasakan. Dengan semboyong aku menagis pilu setelah itu semuanya mengelap. Detik itu juga aku tidak merasakan apapun kecuali petir yang berlomba-lomba bersuara. Dan di kegelapan itu aku teringat bahwa hari ini adalah hariku mengijak kepala dua.

Sekilas kisah Aldi menjadi pria yang tidak perasaan ia gila mabok, gila penjol dan hal-hal negatif semua ia lakukan untuk menghancurkan dirinya sendiri karena merasa bersalah dengan dirinya sendiri. Semoga tidak ada Aldi ke dua.

TAMAT
jika aku kehingan gelar, aku masih bisa mencarinya, tapi jika aku kehilangan sosok Bapak dimana aku akan mencarinya….”

Penulis: Andini

Editor: Tim Redaksi

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *