Karya : Rani Pratiwi
Suasana sore ini masih terbilang terik, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 16.25 WIB. Namun, walau begitu jalanan semakin padat karena banyak dari mereka yang baru pulang dari aktivitas sehari-hari dan beberapa pergi ke pasar walau hanya sekadar membeli lauk untuk makan malam.
Jalanan yang padat dimanfaatkan oleh beberapa rakyat kecil untuk mencari secercah uang dari tangan-tangan orang berada. Seperti dua anak ini, mereka sedang bernyanyi sembari bermain alat musik seadanya dan menyodorkan kaleng kecil tempat dari hasilnya.
“Terima kasih, Pak… Bu.” Setelah mengatakan itu, dua anak itu pergi dari sana dan menuju ke tempat lain yang bisa mereka jadikan tempat penghasil uang.
Kaki-kaki kecil itu menapak di sepanjang jalan, sesekali melompat menghindar dari genangan air akibat hujan tadi.
“Mau pulang?” tanya Angga
“Uang kita sudah banyak, Kak?” Bukannya menjawab, Rika–adik Angga–malah bertanya balik.
“Sudah. Ayo, sekarang kita pulang, mungkin Ayah sudah menunggu.” Gadis kecil itu pun mengangguk dan mengikuti langkah sang kakak menuju tempat yang seharusnya mereka berada.
Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke kediaman kecil mereka. Di depan sudah ada sang ayah menyambut dengan senyuman kecil. Mereka berjalan mendekat dan mencium tangan ayahnya.
“Kalian sudah makan?” tanya sang ayah.
“Belum, Yah,” jawab si sulung.
“Ayo kita masuk, tadi Ayah sudah memasak makanan kesukaan kalian.”
Mereka masuk ke dalam tempat kecil yang bahkan bangunannya sudah reot, tetapi masih cukup kuat menampung tiga manusia yang selama ini tinggal di dalamnya. Seharusnya di dalam sana ada empat orang, tetapi sang bidadari tak bersayap sudah pergi terlebih dahulu menghadap sang pencipta.
****
“Bapak tidak bisa seenaknya, dong! Ini tanah kita, jangan digusur!” Suara teriakan-teriakan dari warga terdengar lantang. Banyak dari mereka yang menolak penggusuran tanah karena hanya itulah salah satu tempat untuk mereka tinggal. Jika digusur maka harus ke mana lagi mereka akan berteduh?
“Kami tidak terima jika tempat tinggal kami digusur. Walau mau dibayar berapa pun kami tidak mau!” Kembali terdengar suara lantang dari rakyat kecil yang ingin membela hak mereka.
Rasanya tidak adil bukan? Rakyat kecil selalu ditindas dan pejabat selalu ditinggi-tinggikan namanya. Apa mereka tidak pernah berpikir bagaimana nasib rakyat itu ke depannya. Hanya karena ingin menghasilkan uang lebih, harus rela menindas masyarakat kecil.
“Kalian sudah menandatangani surat ini, jadi kami punya hak!” Salah seorang pekerja bayaran itu tetap bersikeras ingin meratakan pemukiman.
Angga, Rika, dan Pak Tarjo–ayah Angga dan Rika–berdiri di barisan paling depan. Mereka yang paling bersikukuh untuk tetap tinggal di sana.
Walau ada beberapa warga yang sudah setuju karena iming-iming uang banyak, tetapi tidak sedikit pula yang menolak.
“Pak, apa tidak punya tempat lain hingga tempat tinggal kami yang harus digusur?” tanya Pak Tarjo.
“Tidak, Pak. Tempat ini sudah dibeli oleh Pak Satya dan beberapa warga juga sudah menyetujuinya, jadi kalian harus pergi dari sini!”
Perlawanan pun terjadi antara warga dan para pekerja itu. Teriakan-teriakan menggema memenuhi pemukiman saat ini. Banyak dari warga ingin bertemu dengan Pak Satya, tetapi pria yang ingin ditemui tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Hingga suara klakson mobil membuat atensi mereka terkalihkan. Banyak yang menerka bahwa itu adalah Pak Satya, tetapi nyatanya itu bukan. Orang yang keluar dari sana seorang wanita cantik, berpakaian modis dan elegan.
Dia berjalan menuju kerumunan itu. “Ada apa ini?” tanyanya.
“Ini, Bu, mereka tidak mau meninggalkan tempat ini,” jawab salah satu pekerja itu.
“Memangnya kenapa mereka harus pergi?”
“Pak Satya yang menyuruh, karena tempat ini akan dijadikan taman hiburan.”
“Pergi!”
“Maksud Ibu?”
“Kalian pergi dari sini, biar mereka saya yang urus.”
“Tapi–”
“Saya bilang pergi!”
Para pekerja itu pun pergi dari sana, menyisakan Bu Nike dan para warga. Bu Nike berjalan ke arah Pak Tarjo.
“Bapak tenang saja, tempat ini tidak akan digusur,” ujar Bu Nike.
“Apa Ibu serius? Ibu tidak berbohong kan?” tanya Pak Tarjo.
“Ya.”
Pak Tarjo tersenyum, mencium telapak tangan Bu Nike sembari mengucapkan terima kasih.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu.. tanah kita tidak jadi digusur!”
Setelah mengucapkan kata itu, terdengar teriakan para warga mengucapkan kata syukur dan langsung mendekati Bu Nike mengucapkan terima kasih. Tidak lupa dengan Angga dan Rika. Mereka sangat berterima kasih karena masih ada segelintir orang baik yang mau menyelamatkan hidup mereka.
Jika tidak ada Bu Nike mungkin tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun mereka tempati akan hilang dalam sekejap akibat dari tangan-tangan egois di luaran sana.
Setelah berbincang beberapa saat, beberapa dari warga pergi dari sana dan kembali melakukan aktivitas yang tadi sempat tertunda. Begitu pula dengan Pak Tarjo, Angga, dan Rika yang kembali pergi mencari pundi-pundi uang untuk keberlangsungan hidup.
Pak Tarjo pergi memulung, mencari barang bekas yang bisa dijual, sedangkan Angga dan Rika mengamen di lampu merah. Pekerjaan yang selalu mereka lakukan sehari-hari untuk melangsungkan kehidupan selama ini. Walau hanya sedikit, tetapi setidaknya pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan halal dan bukan hasil dari mengemis.
Bukannya mau merendahkan, tetapi selagi masih mampu bekerja maka apa pun akan dilakukan daripada harus meminta-minta kepada orang lain. Karena banyak di luaran sana yang badannya masih sehat bugar, tetapi lebih memilih meminta belas kasih orang lain, padahal jika mereka mau, banyak pekerjaan yang bisa dilakukan walau hasilnya tidak seberapa.
****
“Hari ini Hari Ayah, kan?”
“Eh, iya. Aku mau membelikan Ayahku jam tangan!”
“Aku juga.”
Angga dan Rika tak sengaja mendengar pembicaraan tiga gadis yang baru saja lewat itu. Angga menatap Rika seolah berbicara melalui batin.
Rika menatap kaleng kecil yang hanya diisi oleh sedikit uang recehan. “Kak, hari ini Hari Ayah. Aku mau kasih hal yang spesial buat Ayah, tapi uangnya nggak ada,” ujar Rika sendu.
Angga menatap adik kecilnya itu dan mengusap rambutnya pelan. “Kakak punya tabungan, uangnya kita pakai aja buat beliin aja sesuatu,” ujar Angga.
“Nggak apa-apa?” tanya Rika
Angga mengangguk. “Ayo, kita pulang setelah itu baru pergi ke pasar.”
Mereka kembali pulang ke rumah dan setelah itu pergi ke pasar untuk membelikan sang ayah hadiah kecil.
Setelah pulang dari pasar, mereka menemui Pak Tarjo di tempat biasa pria itu bekerja. Cukup lama mereka berkeliling karena tidak jua menemukan sang ayah, akhirnya bertemu juga.
Pak Tarjo sedang duduk beristirahat di bawah pohon besar di pinggir jalan. Terlihat dari wajahnya banyak bulir keringat menempel di sana. Dilapnya dengan tangan dan mengipaskan topi agar hawa panas segara hilang dari tubuh.
Angga dan Rika berjalan menghampiri Pak Tarjo. Pak Tarjo yang melihat kedua anaknya datang tersenyum hangat.
“Assalamualaikum, Ayah,” salam mereka berdua.
“Waalaikumsalam. Duduk, Nak,” suruh Pak Tarjo, “tumben sekali kalian ke sini, ada apa?”
“Selamat Hari Ayah,” ujar Angga dan Rika berbarengan.
“Maaf ya, Yah, nggak bisa kasih barang mewah,” ujar Rika sembari memberikan sebuah bingkisan kado kepada Pak Tarjo.
Pak Tarjo menerimanya tanpa sadar air matanya menetes. Dia merentangkan tangan, Angga dan Rika langsung menghambur ke pelukan sang ayah.
“Terima kasih banyak, Nak. Ayah tidak butuh hadiah apa pun, dengan kalian selalu ada di samping Ayah saja, Ayah sudah bahagia,” ujar Pak Tarjo. Dipeluknya erat kedua anaknya itu.
Angga melepaskan pelukan ayahnya. “Ayah, ayo buka kadonya.”
Pak Tarjo mengangguk dan membuka kadonya. Ternyata di dalamnya satu buah sarung dan satu buah peci, serta ada sepucuk surat.
Diambilnya oleh Pak Tarjo dan membacanya dengan pelan. Air matanya kembali keluar saat setelah membaca surat itu. Dipeluknya kembali kedua anaknya dengan penuh kasih sayang.
Ayah, maaf ya kita tidak bisa memberikan hal yang berharga.
Hanya ini yang bisa kita berikan untuk membalas jasa Ayah selama ini, Ayah adalah orang hebat. Ayah bisa menjadi tulang punggung serta ibu buat kami.
Ayah, jaga kesehatan, ya. Ayah harus sehat, Ayah harus bisa melihat kedua anak Ayah sukses.
Terima kasih, Ayah.
I love you
Selamat Hari Ayah.
Begitulah kira-kira isi dari surat itu. Mereka masih berpelukan, meluapkan segala kasih sayang yang ada. Hidup tanpa ibu memang berat karena tidak ada yang bisa melayani dan tempat bermanja. Namun, Pak Tarjo sebisa mungkin bisa menjadi sosok pengganti sang ibu di saat anak-anaknya butuh tempat berlindung, tempat mengadu sekaligus menjadi ayah yang bisa menafkahi mereka.
Menjadi dua peran sekaligus memang tidaklah mudah, tetapi itu harus dilakukan agar kedua anaknya tidak merasa kesepian. Sebisa mungkin meluangkan waktu walau hanya sebentar untuk berbincang kecil kepada anaknya.
Ibu memang sosok yang hebat, tetapi ayah tidak kalah hebatnya. Dia adalah tulang punggung keluarga yang harus selalu siap memasang badan ketika salah satu keluarganya ada masalah. Dia adalah orang yang tersenyum walau dalam hati menangis, berusaha menutupi segala beban yang dirasakan agar semua terlihat baik-baik saja padahal itu tidak sama sekali.
Sosok ayah adalah sosok yang luar biasa, mereka rela terluka, bekerja siang dan malam hanya demi secercah uang. Sungguh pengorbanan yang tiada banding dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Ayah adalah pahlawan.