Home / Warta Opini / RKUHP disahkan Kebebasan Pers Terancam

RKUHP disahkan Kebebasan Pers Terancam

wartaiainpontianak.com-RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah diketuk palu dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Selasa (6/12). Diketuknya palu tersebut merupakan pertanda akan sahnya rancangan tersebut menjadi KUHP, yang mana ini merupakan suatu prestasi baru DPR ( Dewan Perwakilan Rakyat) RI (Republik Indonesia) dalam memperlihatkan ketidak berpihakannya terhadap masyarakat.

Dengan dalih menggantikan KUHP sebelumnya yang merupakan warisan zaman kolonialisme Belanda di Indonesia. Pengesahan RKUHP menjadi KUHP ini terkesan ‘dikebut’, bukan tanpa alasan beberapa pasal yang kontroversial dan dianggap perlu pengkajian ulang secara mendalam seakan-akan lolos begitu saja ke paripurna untuk disahkan menjadi UU.

Kontroversi dari beberapa pasal yang ada di dalamnya seakan-akan hanya disadari oleh Masyarakat semata, seperti dalam pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

Dapat dikatakan bahwa potensi kriminalisasi melalui pasal 218 ayat 1 sangatlah besar, kebebasan untuk berekspresi dari kalangan publik, mahasiswa, aktivis HAM yang menyuarakan hak serta kritik terhadap kebijakan pemerintah atau lembaga negara lainnya akan terancam.

Terlebih lagi untuk kalangan jurnalis, RKUHP dinilai akan berpotensi mengancam kemerdekaan pers dalam menjalankan fungsinya sebagai watch dog. Karya jurnalistik yang menjadi senjata untuk menyampaikan aspirasi serta beropini pun menjadi rawan untuk dilucuti.

Sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan RKUHP ini AJI menggelar aksi secara hybrid (offline dan online) diberbagai daerah tepatnya pada Minggu-Senin, 4-5 Desember 2022.

Ninik Rahayu selaku Anggota Dewan Pers menyatakan bahwa sahnya RKUHP oleh DPR merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers, karena banyaknya pasal yang bermasalah. Menurutnya pengaturan pidana Pers dalam RKUHP, menciderai regulasi yang sudah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Minimnya Transpransi dalam pembentukan RKUHP serta acuhnya DPR RI dalam meng akomodir saran serta masukan dari publik tentu menjadi tanda tanya besar Apakah memang se-urgent dan secepat itu RKUHP diperlukan? Apakah sudah tidak ada ruang untuk bernegosiasi serta peninjauan kembali?

Harusnya DPR RI sebagai wakil rakyat di parlemen mengingat kembali tugas, wewenang serta fungsinya yaitu untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat bukannya malah bersikap acuh tak acuh terhadap saran serta kritik dari aktivis HAM, Pers dan masyarakat apalagi sampai dikenakan pidana.

Penulis : Rifqi

Editor : Ipul

Loading

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *