Ada populasi baru menyongsong demokrasi sehat. Populasi tersebut tengah berkembang biak dalam habitat bernama Kampung Awas. Kampung itu ada, jika populasi itu ada. Populasi yang sepakat kawal prosesi dunia politik.
Bagai mencari jarum dalam jerami. Mewujudkan demokrasi yang sehat di negeri ini adalah hal yang rumit. Pada level pemilu misalnya, masih kerap terjadi kecurangan-kecurangan yang mencederai sistem negara. Kucarangan tersebut terjadi meliputi tahapan administrasi, masa kampanye, masa tenang, masa tegang di bilik suara, bahkan pada proses hitung cepat pasca tempat pemungutan suara (TPS) tutup.
Kompas.com memberitakan bahwa Bawaslu menemukan 13 kasus pelanggaran pengawasan pada pilkada serentak Juni silam. Evaluasi yang dilakukan bawaslu pada 8.751 TPS itu menemukan pelanggaran berupa surat suara rusak sebanyak 151 kasus. Ditemukan juga terdapat 735 TPS yang beroperasi lebih dari jam yang telah ditentukan.
Kemudian terdapat kasus tindak pengarahan pilihan pemilih yang dilakukan oleh KPPS. Kecurangan tersebut berjumlah 40 kasus. Tidak hanya itu, paling menjengkelkan, ditemukan pelanggaran berupa memakai atribut paslon yang dikenakan saksi pada waktu pencoblosan.
Namun, tidak ada yang mustahil bila pejabat pemangku kebijakan dan semua lapisan masyarakat mau berbenah. Pemilu yang jujur dan adil dapat tercipta jika semua sepakat dan tunduk pada sebuah aturan. Bawaslu sebagai lembaga yang diberi mandat untuk melaksanakan dan melakukan pengawasan terhadap jalannya pemilu tentu telah mengupayakan yang terbaik ke depan. Membuat program-program sosialisasi kepada masyarakat agar bisa bersama-sama berpartisipasi dalam pengawasan pemilu.
Momentum pemilu tahun 2019 merupakan pengalaman baru pesta demokrasi Indonesia sejak reformasi. Sebab, pada momen sakral itu masyarakat akan memilih anggota legislatif, legislatif daerah dan dewan daerah serta memilih RI1 dalam satu waktu. Masa depan daerah, masa depan negara akan ditentukan oleh mereka yang akan duduk di kursi birokrasi.
Meskipun pemilu masih menghitung tahun. Namun aura-aura panas politik sudah tercium. Pelbagai macam perdebatan memanas seiring lajunya arus informatika. Politisasi SARA, ujaran kebencian antar paslon merupakan warna-warni yang mencoreng NKRI. Hal semacam itu yang ditakutkan dapat memperburuk jalannya pemilu nanti.
Bawaslu melakukan ikhtiar agar buntut-buntut dari ketegangan politik saat ini tidak menjadi bom waktu bagi demokrasi. Langkah evaluasi pelaksanaan pencoblosan telah dilakukan. Agar kesalahan yang sama tidak menjadi sejarah yang terus berulang.
Salah satu upaya Bawaslu menekan angka kecurangan pemilu yakni dengan pengembangan gerakan partisipatif masyarakat melalui skema kampung awas. Kampung Awas yang dimaksud adalah bagaimana sebuah kelompok masyarakat memiliki visi yang sama untuk menciptakan pemilu yang cerdas dan jurdil. Baik itu di ruang lingkup desa atau kelurahan maupun dalam lingkup yang lebih kecil sepeti RT dan dusun.
Keterlibatan masyarakat secara untuh dalam mengawal proses jalannya pemilu merupakan kunci suksesnya pemilu. Sukses bukan sekadar lancar seremonial saja, tetapi mencapai makna pemilu yang damai dan fair. Artinya, selain tidak ada kendala dalam tiap tahan, namun juga tidak ada sengketa yang berujung persidangan. Tidak ada polemik yang berujung pemungutan ulang. Sebab, jika terjadi pemungutan ulang, anggaran negara tentu terbuang sia-sia.
Butuh usaha yang berlipat bagi bawaslu untuk menjalankan program kampung awas. Tidak cukup hanya memberikan sosialisasi semata. Tetapi perlu bimbingan secara konsisten kepada warga kampung itu sendiri bagaimana langkah yang mesti mereka lakukan. Supaya calon legislatig (caleg) yang hendak melakukan kecurangan dapat mengurungkan niatmya lantaran kampung yang ingin ia sasar adalah kampung awas.
Kampung awas pemilu dapat dilakukan berupa pemasangan spanduk yang berisi pernyataan bahwa desa tersebut adalah kampung awas. Dapat dipasang di rumah kepala desa, ketua-ketua RT, maupun di fasilitas umum, seperti masjid dan balai pertemuan. Tidak hanya itu, atribut-atribut pernyataan kampung awas bisa juga dipasang di tiap-tiap rumah penduduk. Semakin banyak atribut kampung awas pada kampung tersebut, maka semakin menakuti oknum-oknum yang ingin melakukan kecurangan. Setidaknya dapat menjadi batu sandungan bagi oknum-oknum politik sembako.
Desa Labu, sebuah desa yang terletak di Bangka Belitung diklaim sebagai kampung awas pertama di Indonesia. Kampung tersebut diresmikan pada Mei lalu. Dengan harapan dapat memonitoring dan memberikan edukasi kepada masyarakat untuk cerdas menggunakan hak pilihnya. Belum lagi permasalahan saat itu di Bangka Belitung mengalami jumlah keikutsertaan pemilu yang rendah. Hanya sekitar 50% saja dari beberapa kecamatan yang ada di Bangka.
Sedangkan di Kalimantan Barat, terdapat dua kampung awas yang sudah diresmikan Bawaslu Kalbar. Yakni, kampung awas di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau dan di salah satu desa yang terletak di Kabupaten Sintang.
Pengembangan gerakan partisipatif masyarakat dalam mengawasi pemilu bukan hal yang remeh temeh. Melainkan gerakan ini adalah sebuah kampanye positif dan penting untuk disadari. Walaupun berusia dini namun langkah ini cukup menjadikan demokrasi negara kita mendewasakan diri.
Bagian terberat mewujudkan kampung awas adalah menyelaraskan pola pikir. Masyarakat yang memiliki kemampuan kognitif yang cenderung berbeda-beda akan mempersulit dalam pembentukan. Karena perlu visi yang sama, perlu arah yang sejalan agar kampung awas bisa terealisasi. Sedangkan status warga yang berasal dari bebagai kalangan ekonomi, bahkan beberapa pasti merupakan anggota tim pemenangan paslon maupun caleg tertentu. Perbedaan pendapat tidak akan bisa dihindarkan. Di sinilah peran seorang pemimpin yang dapat mengayomi masyarakat. Bagaimana cara dia merangkul tiap warga untuk sadar pemilu cerdas. Tidak lagi memilih asal pilih. Tidak lagi mencoblos karena pesanan orang.
Kendala lain dalam hal pendanaan. Membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk menyukseskan program kampung awas. Apalagi belum ada anggaran yang tetap terkait program kampung awas. Namun bagi sebagian desa yang telah membentuk kampung awas, mereka rela mengucurkan separuh anggaran desanya untuk pendanaan kampung awas.
Bawaslu merilis data Indeks Kerawanan Pelanggaran 34 Provinsi Pemilu 2019. Data tersebut menyebut bahwa skor kerawana pelanggaran untuk provinsi Kalimantan Barat mencapai 47%. Angka tersebut menempatkan kalbar berposisi terendah ke enam potensi kerawanan pelanggaran. Untuk wilayah pulau kalimantan pun kalbar terendah kerawanannnya, dibandingkan kalteng, kalsel, kaltara dan kaltim. Sedangkan papua menempati posisi paling rawan dengan skor 52,83%.
Data bawaslu dapat menjadi pembelajaran betapa masih tingginya angka kerawanan pelanggaran pemilu di Indonesia. Khususnya di Kalbar, angka 47% bukanlah angkan yang kecil melainkan angka yang harus dibenahi secepat mungkin. Agar potensi-potensi itu menipis dan berkurang. Oleh sebab itu, skema kampung awas adalah program yang harus diimplementasikan secepat mungkin. Sudah saatnya mengatakan tidak pada money politik. Tiba saatnya mengatakan tidak pada politisasi SARA, politik identitas dan kecurangan yang berkedok janji.
Kampung awas yang telah terbentuk diharapkan dapat menjadi contoh untuk kelompok masyarakat lainnya. Baik itu kelompok masyarakat tingkat RT, Desa/ kelurahan bahkan Kabupaten. Sehingga kesadaran akan arti penting mengawal pemilu yang berasas keadilan dan transparan adalah prinsip paling tinggi di negara ini.