Wartaiainpontianak.com – Jumat, 25 September 2020 pukul 19:30 telah terlaksana dialog publik secara virtual melalui zoom dan live youtube. Dialog publik yang bertajuk ” Kasus Pemerkosaan Anak Dibawah Umur Oleh Oknum Satlantas Kota Pontianak” Dialog ini merupakan agenda dari Menteri Pemberdayaan Perempuan DEMA IAIN Pontianak yang dilaksanakan oleh Lahmi Solehati. Pada dialog ini, peserta yang mendaftar adalah 120 orang, tetapi yang bergabung di zoom hanya 60 orang. Maka dari itu, moderator terus mengingatkan untuk teman-teman segera bergabung melalui zoom ataupun live chat. Pemateri pada dialog ini ada 3 orang yaitu Dian Lestari dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman ( SEJUK ), Hj. Eka Nurhayati, S.E yang merupakan perwakilan dari Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah, dan yang terakhir adalah Lulu Musyarofah, S.Sos yang merupakan perwakilan dari SAKA ( Suara Asa Khatulistiwa ).
Pada dialog publik interaktif tersebut, saat acara dimulai maka moderator mengunci suara agar tidak terlalu berisik. Setelah moderator menyampaikan pembukaan, maka Presiden Mahasiswa IAIN Pontianak Muhammad Ali Fahmi memberikan kata sambutan sepatah dua patah. Fahmi mengucapkan terimakasih atas ketersediaan narasumber, semangat rekan DEMA yang tetap semangat melakukan kegiatan secara virtual dalam keadaan yang masih pandemi, dan semua peserta yang menyempatkan mengikuti dialog virtual ini. Fahmi sendiri menginginkan dialog bersama ini dilakukan secara luring karena esesnsi yang dihasilkan akan lebih jelas dalam mengolah pemikiran yang kritis, namun keadaan masih belum memungkinkan karena pandemi di Kalimantan Barat yang masih meningkat. Fahmi juga mengatakan, akan ikut mengawali kasus ini.
“Semoga dengan adanya dialog ini akan menghasilkan sesuatu yang baik dan kasus ini menjadi PR bersama untuk menyelesaikan masalah ini,” ucap Fahmi.
Narasumber pertama adalah Dian Lestari dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman ( SEJUK ) yang terkenal dikalangan Jurnalis terutama Jurnalis di Kalimantan Barat. Dian membahas kasus ini dalam 3 sudut pandang yaitu sudut pandang tersangka, netizen dan media masaa. Dalam sudut pandang tersangka, adanya relasi kuasa dari media sosial melalui tanggapan orang. Relasi kuasa adalah kuasa yang digunakan dalam konteks penguasa seperti aparat dan korban. Ketimpangan korelasi ini yang demikian adalah menyondong pada aparat. Aparat ini menyalahgunakan kuasa untuk memperdaya orang lemah seperti korban. Setelah mempelajari kasus, maka aparat ini terlihat sudah berpengalaman dalam melakukan ketimpangan ini karena memiliki kekuatan dan pemikiran dalam menggunakan relasi. Karena koban adalah perempuan, perempuan dinilai lemah dan tidak berdaya maka dengan mudahlah perempuan dianggap gampang tertekan oleh kuasa. Kemudian dari sudut pandang netizen, menyalahkan korban dengan menyudutkan pernyataan bahwa bahwa “mengapa tidak ada perlawanan, kok mau, dan lain lain.”
Inilah yang menjadi sorotan bahwa netizen keliru dalam berpendidikan. Seharusnya, netizen itu memberntuk empati terhadap kasus ini. Empati ini yang harus terus berjalan selama kasus ini di proses sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Dalam menumbuhkan empati, tentunya pengelolaan rasa diperlukan untuk menciptakan netizen yang baik. Terakhir, dari sudut pandang media massa bahwa adanya kronologi korban tidak sadar karena diberikan minuman yang tidak menyadarkan diri atau diperkosa. Perlu diketahui bahwa dalam psikologi, seseorang dalam keadaan tertekan tidak dapat melakukan apa-apa karena tubuhnya diam membeku ( reaksi panik tidak dapat ditimbulkan, bahwa berpikir dan menangis pun tidak bisa ). Dian menyampaikan bahwa netizen harus cerdas.
“Masyarakat di test untuk menemukan empati dengan tidak membiarkan komentar negatif disebarluaskan sehingga netizen seharusnya memberikan narasi positif yang lebih banyak agar empati lebih terjaga,”
tutup Dian.
Dilanjutkan lagi dengan narasumber kedua yaitu Hj. Eka Nurhayati, S.E yang merupakan perwakilan dari Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah menyampaikan bahwa sebelum masuk pada kasus maka kenali dulu apa itu pemerkosaan, anak dan kejahatan seksual pada anak. Pasal 285 KUHP yang berbunyi Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun. Kemudian dalam UU no. 35 tahun 2015 pasal 1 berbunyi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian, pasal 82 berbunyi Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah ( KPPAD ) tentunya melakukan perlindungan dan pengawasan terhadap anak dengan mendampingi proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Untuk memulihkan kondisi korban maka KPPAD menjamin kesehatan, mengobati trauma, melakukan rekreasi walaupun pada proses hukum, dan menjaga keterlibatan media dengan merahasiakan kronologis beserta identitas korban. Maka KPPAD berusaha untuk memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap korban, bahkan ada salah satu media yang memberitakan identitas dengan jelas maka KPPAD melakukan peneguran terhadap media tersebut. Tujuan melakukan pembatas hal tersebut adalah jangan sampai korban merasa terkekang dan semakin terganggu mentalnya. Eka menyampaikan bahwa kasus semacam ini bukan untuk yang pertama kalinya.
“Jangan sampai hanyut dalam kasus ini sehingga Pontianak dicap sebagai kota yang tidak ramah terhadap anak,” tutup Eka.
Terakhir, narasumber ketiga adalah Lulu Musyarofah, S.Sos yang merupakan perwakilan dari SAKA ( Suara Asa Khatulistiwa ). Saat penyampaian materi, mengalami sedikit permasalahan salah satunya adalah suara Lulu yang terputus-putus sehingga sulit untuk didengar dengan baik. Pada intinya adalah Lulu menjelaskan bahwa Suara Asa Khatulistiwa ini adalah gerakan pembelaan dibidang pendidikan maupun sosial tetapi yang paling mencolok adalah bidang pendidikan. Beberapa hal yang dijelaskan oleh Lulu adalah perempuan tidak boleh keluar rumah dan posisi perempuan juga terletak satu posisi dibawah lelaki sehingga perempuan dibatasi dengan budaya lama yang menyudutkan. Belum lagi, ketarasaan perempuan yang dibatas dengan agama yang disebut dalam dalil. Kasus perempuan seperti ini tetapi tidak banyak kasus yang dipublikasikan karena tidak semua perempuan memiliki kapasitas mental yang berani dan menjadi hal yang tabuh dalam masyarakat ketika ada pengakukan seperti itu. Maka dari itu, perempuan harus lebih berpikir secara kritis dan bekerja ekstra untuk menaikkan derajatnya .
“Ruang edukasi diskusi semacam ini harus dilakukan untuk menambah empati.” tutup Lulu.
Reporter: Feby Kartikasari
Editor : Syarifah Desy Safitri