Home / Berita / SPI Kalbar Desak Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Petani

SPI Kalbar Desak Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Petani

 

wartaiainpontianak.com- Pontianak, 24 September 2024. Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke-64, Serikat Petani Indonesia (SPI) Wilayah Kalimantan Barat kembali menyerukan pentingnya percepatan pelaksanaan reforma agraria dan kedaulatan pangan untuk meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani di Kalimantan Barat.

Ketua DPW SPI Kalimantan Barat, Zulkarnaen Jais, menegaskan pentingnya langkah konkret dari pemerintah dalam menyelesaikan konflik agraria yang masih marak terjadi di wilayah ini.

Jais meminta Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, beserta pemerintah kabupaten/kota dan instansi terkait, untuk serius mendorong penyelesaian konflik agraria, baik yang terkait izin lokasi, Hak Guna Usaha (HGU), maupun tanah yang masa HGU-nya telah habis. Ia menekankan bahwa tanah tersebut harus didistribusikan kembali kepada petani demi mewujudkan kemakmuran yang berkelanjutan.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem dan rakyat yang tidak memiliki tanah semakin meningkat di Kalimantan Barat. Jais menyalahkan praktik perampasan lahan oleh korporasi perkebunan kelapa sawit, yang menyebabkan petani kehilangan aset tanah dan terbebani oleh utang. Ia mengkritik bahwa pola pembangunan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan korporasi tidak hanya gagal membawa kesejahteraan, tetapi justru memperparah kemiskinan petani.

Menurut Jais, salah satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah dengan mengalokasikan 20% dari luas Hak Guna Usaha (HGU) kepada mereka. Langkah ini diyakini akan memakmurkan petani yang berada di sekitar wilayah operasional perusahaan.

“Solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani adalah dengan mengalokasikan 20% dari luas HGU kepada petani. Ini baru akan benar-benar memakmurkan petani yang tinggal di sekitar wilayah operasional korporasi,” ungkap Jais.

Selain itu, Jais menyoroti fenomena “green grabbing” dan “land grabbing” yang juga semakin memperburuk konflik agraria di Kalimantan Barat. Salah satu contoh nyata adalah perdagangan karbon di Kabupaten Kapuas Hulu yang berpotensi menimbulkan konflik antara korporasi dan masyarakat adat.

“Sampai hari ini, konflik agraria terus meningkat karena perampasan tanah semakin meluas, sementara penyelesaiannya masih jauh dari kata komprehensif,” ucap Jais.

Ia memaparkan bahwa konflik ini terjadi hampir di seluruh kabupaten di Kalimantan Barat, seperti di Desa Semangut Utara, Kecamatan Bunut Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, di mana tanah seluas 131 hektar milik 54 keluarga petani telah dirampas oleh korporasi.

Jais menegaskan bahwa reforma agraria harus diorientasikan untuk merombak struktur kepemilikan lahan yang timpang. Reforma agraria harus memprioritaskan distribusi tanah kepada petani gurem dan rakyat yang tak bertanah untuk kepentingan pertanian, perikanan, serta perumahan.

“Kami menolak tegas pembentukan pasar tanah melalui Bank Tanah serta pemberian HGU dan HGB kepada orang asing,” tegasnya.

Sebagai provinsi dengan perkebunan kelapa sawit terbesar kedua setelah Riau, Kalimantan Barat menjadi pusat konflik agraria yang tak kunjung selesai. Jais berharap dengan adanya sinergi dari semua pihak, terutama melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), program ini dapat terlaksana dengan sukses untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi petani di Kalimantan Barat.

“Reforma Agraria adalah program prioritas nasional yang harus kita sukseskan. Dengan komitmen, kerja keras, dan sinergi dari semua pihak, saya yakin kita bisa mencapai tujuan ini,” tutupnya.

 

Penulis : Zikri 

Penyunting : Aal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *