Oleh :Husnu
Akhirnya aku memberanikan diri bertandang ke kedai kopi ini. Setelah selama beberapa hari belakangan kepalaku digerogoti pertanyaan-pertanyaan yang tak terpecahkan. Aku duduk di bagian pojok kedai, sendirian. Kedai inirupanya tak seperti yang ada dalam bayanganku, aku sama sekali tidak melihat ruangan sesak manusia dari berbagai kalangan layaknya beberapa kedai lain yang berjejer di semenanjung caffe street jalan Gajah Mada. aku juga tidak melihat suasana serampangan seperti umumnya warung-warung kopi, tempat ini terkesan agak mewah, dan sepertinya hanya kelompok elit dan penikmat kopi abadi saja yang biasa bertandang ke sini, di beberapa sudut terlihat kursi-kursi tertata rapi dan sebagian besar tanpa penghuni. Sepi.Hanya beberapa meja yang tampak dikelilingi pria-pria rapi dengan pakaian rapi. Gaya bicara mereka sedikit berbeda dengan gaya bicara orang-orang dikebanyakan warung-warung kopiyang biasa aku kunjungi. Entah apa yang sedang mereka bicarakan? Aku juga tak berhasrat mencari tahu.Satu-satunya hal yang menarik perhatianku sejak semalam hanya kopi di kedai ini.
Beberapa saat setelah memesan, seorang pelayan akhirnya datang membawa nampan dan cangkir berisi kopi, serta gelas kecil berisi gula dan bill. Setelah aku menyodorkan beberapa lembar uang pecahan lima ribuan, pelayan itupun mengatakan beberapa kata basa-basi, seperti yang biasa dilakukan oleh petugas resepsionis demi kenyamanan pelanggan, dan setelah itu ia beranjak pergi.
Tinggallah aku dan cangkir kopi yang perlahan menguapkan perasaan was-was dan membuatku takut untuk sekedar menyentuhnya. Kalian barangkali menilai sikapku ini irasional. Ya, manusia waras macam apa yang takut setangah mati kepada seonggok benda kaku bernama cangkir kopi, layaknya ia takut pada dedemit perempuan berambut panjang dengan pakaian serba putih dan lubang menjijikan di punggung? seperti yang lumrah tergambar di film-film horror 70an. Sungguh akan jauh lebih masuk akal perasaan takut manusia-manusia penuh dosa itu ketika mendengar cerita-cerita seram mengenai siksa neraka yang sering disampaikan para Khotib dalam khutbah jumat di masjid-masjid.
Tapi kawan, sungguh aku tidak was-was tanpa alasan, pasalnya dua hari yang lalu, salah satu karibku ditangkap polisi dan diadili, ia diinterogasi, bahkan konon katanya ia juga beberapa kali dijewer, dan menurut kabar angin yang beredar di kalangan ibu-ibu kompleks, kawanku itu diringkus polisi karena ketahuan ngopi di kedai ini! “kalian tahu?si badrun ditangkap polisi karena ketahuan keluar dari kedai kopi Lupa Ingatan di simpang jalan itu” ucap salah satu ibu-ibu itu sambil teliti menghitung helai rambut ibu-ibu lain di depannya, dan disambut oleh ibu-ibu lain dibelakangnya yang tengah melakukan hal yang sama kepadanya, seperti yang ia lakukan kepada ibu-ibu di depannya. Aku kian penasaran, betul kah yang dikatakan ibu-ibu penghitung helai rambut itu? Sejak kapan hukum negara ini menganggap kebiasaan minum kopi sebagai tindakan kriminal?tidak masuk akal, batinku.
Tapi setelah sekarang aku berada di tempat ini, ucapan ibu-ibu itu justru makin membuat rasa was-wasku terhadap cangkir kopi yang kian dingin di depanku bertambah, bagaimana jikalau apa yang ibu-ibu itu katakan benar? Bagaimana jika kopi ini benar-benar mengandung senyawa yang bisa membuat siapapun yang meminumnya akan lupa ingatan? Sesuai namanya.Bagaimana jika nanti aku amnesia karena mencicipi kopi ini? Dan jika itu benar-benar terjadi, maka kemungkinan buruknya, aku akan lupa jalan menuju rumahku, atau yang paling mengerikan, aku akan bernasib sama seperti karibku itu, diringkus polisi kemudiandiadili, diinterogasi, atau bahkan dijewer, lalu aku akan di cap anak durhaka oleh ibu bapakku karena sudah membuat nama baik mereka tercoreng, dan ibu-ibu penghitung helai rambut di komplek itu akandengan santai berkata “kau tahu? Si bagus ditangkap polisi karena ketahuan merayu salah satu pelayan perempuan di kedai Lupa Ingatan yang semok itu” mengerikan dan mengada-ngada!
Maka aku putuskan untuk mengurungkan niat mencicipi kopi itu, jangankan meminumnya, menyentuh cangkirnya saja aku tak berani.Setidaknya sebelum aku benar-benar berhasil menemukan jawaban atas kehawatira-kehawatiran di kepalaku. Tapi pertanyaannya, siapa yang akan berbaik hati duduk di mejaku dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kian menit kian beranak-pinak di kepalaku? Mungkinkah Tuhan akan melihatku dari atas sana dan berbaik hati mengirimkan salah satu diantara ribuan malaiaaakatnya dalam jelmaan manusia cantik, untuk kemudian menghapiriku dan menjawab semuanya? dan setelah itu aku dan malaikat itu akan saling terpesona lalu jatuh cinta. Seperti di ftv-ftv. Hah! hayalan yang menggelikan!
‘Lalu bagaimana?’Batinku terus bertanya.Dan jawaban atas pertanyaan itu justru datang dari batinku juga.Jawabannya ‘tidak tahu!’ Oh celaka! Tidak ku sangka urasannnya akan jadi serumit ini? jika boleh bilang, urusan ini bahkan lebih rumit dari soal-soal matematika yang membingungkan.
Kopi dingin di depanku terus saja menguapkan misteri-misteri baru, membumbung ke seruas langit-langit kedai, berkeliaran kesana kemari, dan jawaban-jawaban atas misteri-misteri itu seperti tertidur pulas di dasar cangkir kopi, bersembunyi di balik warnanya yang pekat.
Makin kesini otakku makin terlihat putus asa. Aku justru tiba-tiba ingat ucapan salah satu Ibu-Ibu penghitung helai rambut yang lupa aku ceritakan di atas tadi.“aku sih tidak tahu pasti sabab musababnya, jika kau ingin tahu jawaban terpercayanya, tanyakan saja pada pelayan atau kalau tidak si pemilik kedai” ia mengatakan itu pada ibu-ibu lain yang cerewet bertanya.
Ucapan ibu itu seperti sebuah ilham yang menuntunku menemukan jalan terang atas semua kebingungan yang sejak tadi menertawakanku.Secepat mungkin kedua mataku beralih kearah bar, mencari-cari sosok pemilik kedai yang akan ku hantam dengan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi meletup-letup ingin keluar. Dan celakanya lagi-lagi aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain, kalau saja nanti aku melakukan itu, alih-alih menjawab interogasiku, pemilik kedai barangkali akan memanggil satpam untuk mengusirku, sebab telah secara mencurigakan dan tak beradat mempraktekkan ide ibu-ibu itu, dan lagi pula aku tak menjumpai siapa-siapa di sana selain penjaga kasir dan pelayan yang duduk dengan muka lesu di kursi bar. Tapi hey! Bukankah bertanya kepada pelayan atau penjaga kasir jauh lebih masuk akal? Ya! Tentu saja.
Maka tanpa berlama-lama aku menghampiri bar, beberapa pertanyaan telah aku siapkan, seperti;apakah betul kalian menaruh zat berbahaya pelupa ingatan ke dalam kopi yang kalian hidangkan? Atau apakah disini melayani hutang piutang? Oke pertanyaan kedua itu mengada-ngada.Mbak-mbak penjanga kasir agaknya lebih pas untuk aku interogasi ketimbang pelayan semok itu, ia terlihat lebih lugu, dan tak ada aura-aura mistis yang menunjukkan ia pemarah, dan setidaknya jika nanti sepulang dari kedai aku benar-benar ditangkap polisi,maka aku akan punya saksi kunci seandainyaibu-ibu komplek itu membuat tuduhan-tuduhan tak sopan. Si Bagus ditangkap karena ketahuan menggoda si pelayan semok itu.
“Malam mbak” kata pertama yang aku ucapkan kepada si penjaga kasir, dan di luar dugaanku, si mbak penjaga kasir itu menatapku dengan raut datar. Dan alih-alih menjawab dengan sapaan serupa, ia justru malah balik bertanya “Ada apa mas?” nadanya sinis! Euhh.Tapi aku tak mau kehilangan kesempatan.Aku langsung ke pokok persolan dan bersiap melontarkan pertanyaan berikutnya. Dan atas izin Tuhan, sebelum pertanyaan itu berhasil aku lontarkan,tiba-tiba handphone di saku celanaku lebih dulu berdering.shit! Siapa pula ini?Satu panggilan masuk berinisial Badrun. Badrun? Bukankah kemarin lusa dia diringkus polisi?
Niatku untuk menginterogasi si penjaga kasir seketika buyar, secepat kilat aku bergegas ke meja, dan menjawab telpon si Badrun. Ada apa gerangan dia menelpon? Kemungkinan-kemungkinan mengerikan mulai menguasai kepalaku, jangan-jangan ia divonis hukuman mati oleh pengadilan atas tindakan meminum kopi di kedai Lupa Ingatan?atau jangan-jangan polisi-polisi itu telah dengan biadap bergantian menjewer si Badrun sampai kupingnya copot? mengerikan!
“Halo Bagus temanku yang baik hati?” suara serak-serak basah khas vokalis ST12 terdengar dari seberang sana. Tentu saja itu adalah suara si Badrun, bukan sang vokalis.
“Hey kawanku!Kau baik-baik saja” tanpa basa-basi aku menghantamnya dengan beberapa pertanyaan. “apakah kau telah divonis hukuman mati? atau apakah polisi-polisi itu telah dengan tidak beradat menjewer kupingmu sampai copot?” Lanjutku dengan nada menggebu-gebu.Dan anehnya si badrun justru terbahak-bahak mendengar pertanyaanku itu.
“Kawanku tercinta, aku cuma diinterogasi saja, polisi garang bernama Syahdu yang menangkapku itu telah berbaik hati membebaskanku, ia menilai tindakanku tak lebih dari sekedar kenakalan remaja yang kurang perhatian saja”
“Maksudmu polisi-polisi itu tidak menganggap tindakanmu meminum kopi di kedai Lupa Ingatan itu sebagai tindak kriminal?”
Badrun tertawa dan kali ini lebih keras! “Kawan, siapa bilang aku ditangkap karena ketahuan meminum kopi di kedai itu?”
“Aku mendengar ibu-ibu tetangga komplek mengatakan itu Drun!”
Badrun malah lebih banyak tertawa ketimbang mengaduh khawatir, katanya sebelum ia diringkus polisi, ia memang sempat meminum kopi di kedai Lupa Ingatan, alkisah,tak lamasetelah ia melunasi bill, tiba-tiba beberapa orang berpakaian rapi datang ke mejanya, mereka dengan sopan meminta ijin kepada badrun untuk ikut duduk bersamanya. Setelah Badrun memberi izin, mereka lalu memesan kopi dan duduk bersama badrun, orang-orang berpakaian rapi itu juga telah berbaik hati mengganti uang yang dipakai Badrun untuk melunasi bill. konon katanya mereka bahkan menggantinya dengan jumlah berkali-kali lipat dari jumlah milik Si Badrun, lalu setelah kutanya apakah ia diringkus polisi karena terlibat kasus suap-menyuap seperti mentri agama di TV itu? ia tertawa lagi, tidak!
“Kawan, aku ditangkap sebab sepulang dari kedai, aku melempari jendela rumah seorang pejabat di dekat koplek kita itu dengan batu hingga kacanya pecah”
Saat kutanya untuk apa ia lakukan itu? Ia menjawab sambil tertawa, aku hanya berniat balas budi kepada orang-orang baik di kedai itu, kawan. Mereka yang menyuruhku.Mendengar jawaban terakhirnya, aku langsung paham sesuatu. Celaka! Aku mengumpat pada diriku sendiri.Jadi, bukan karena kopi ini?
Kututup telpon, Kupandangi wajah mbak-mbak penjaga kasir yang datar, lalu body eh maaf maksudku wajah datarnya lagi, sebelum kemudian beralih memandangi cangkir berisi kopi yang telah dingin itu, dengan putus asa aku meraih dan meminumnya sampai habis sekali teguk.Besok hari senin, dan aku harus pulang mengerjakan PR matematika.
-TAMAT-
Catatan : Cerita ini awalnya berjududul Kedai Kopi dan Hal Ihwal Pecahnya Kaca Jendela Rumah SeorangPejabat