wartaiainpontianak.com – Hampir setahun sudah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) melanda dunia, terkhusus Indonesia, sebuah negara yang terletak di Asia bagian tenggara, yang sampai saat ini masih belum menunjukan titik berakhirnya pandemi COVID-19. Segala bentuk kegiatan manusia seperti ekonomi, agama, politik terdampak pandemi ini, termasuk juga pendidikan. Mulai dari lingkungan sekolah sampai lingkungan kampus masih sangat terlihat sepi dan belum menunjukkan akan dibukanya kembali aktivitas pendidikan seperti semula sebagaimana mestinya.
Walaupun pendidikan di Indonesia semakin hari semakin berbenah, mulai dari sistem kurikulum yang digunakan sampai pada sistem belajar mengajar antara guru dan murid serta antara mahasiswa dan dosen dari masa ke masa. Namun, setelah berakhirnya pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pada tahun 2019 silam menjadikan semua kepengurusan kabinet yang ada dalam bagan-bagan pemerintah pusat mengalami perombakan yang sangat drastis. Terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang juga mengalami tranformasi, hal itu sangat jelas berdampak bagi dunia pendidikan di Indonesia, dimana dari tahun 2014 yang semula dipimpin oleh Muhadjir Effendy sampai pada tahun 2019, setelah berakhirnya pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo, berakhir pula masa jabatan Muhadjir Effendy sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Saat itu dunia pendidikan masih sangat terlihat seperti biasanya dan semua sistem yang dijalankan sama seperti sebelum-sebelumnya. Hingga pada periode kedua Presiden Joko Widodo yang dimulai pada tahun 2019 setelah beliau kembali memenangi pentas demokrasi 17 April 2019 lalu dan beliau resmi mengumumkan kemenangannya atas Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pada 30 Juni 2019 sebagai Presiden Republik Indonesia Periode 2019-2024. Dan setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan secara langsung kabinet baru bernama Kabinet Indonesia Maju di tangga Istana Negara.
Pada pengumuman kabinet barunya itu, dinyatakanlah Nadiem Anwar Makariem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Muhadjir Effendy dalam melakukan terobosan-terobosan baru untuk dunia pendidikan Indonesia ke depan. Jelas menjadi suatu hal yang sangat mengejutkan bagi kami sebab Nadiem Anwar Makariem yang basic-nya lebih terlihat menonjol di bidang IT (Ilmu Teknologi) atas capaiannya yang luar biasa mendirikan perusahaan START-UP Gojek Online, membangun persepsi kami bahwa beliau lebih pantas duduk di Kementerian Komunikasi dan Informatika bukan malah duduk di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal tersebut sontak menimbulkan pertanyaan yang sangat besar bahwa itu artinya akan ada terobosan besar terkait dunia pendidikan di Indonesia yang bisa jadi akan dikolaborasi dengan perkembangan Teknologi Informasi agar semua lebih terlihat modern dan maju seperti pendidikan-pendidikan yang ada di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, Inggris dan banyak negara lainnya yang terkenal akan dunia pendidikan dengan kolaborasi teknologi terbaik di Dunia.
Pada awal-awal jabatan Nadiem Makariem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dunia pendidikan Indonesia seakan-akan diserang secara brutal oleh situasi pandemi COVID-19. Semua sistem yang dijalankan sudah mulai memasuki tahap yang cukup membosankan. Saya rasa itu sebuah momentum yang sangat tidak biasa dan harus diatasi secara efektif dan cepat oleh pemerintah. Dalam hal ini, kemampuan pemerintah dalam bersikap profesional untuk menentukan kebijakan-kebijakan sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama dalam menyikapi sebuah sistem baru yang harus diterapkan dalam situasi seperti ini. Benar saja dunia pendidikan bermanuver dengan menerapkan pendidikan yang dilakukan secara online, jadi siswa serta mahasiswa cukup belajar dari rumah dengan menggunakan ponsel pintar mereka masing-masing. Akan tetapi, hal itu hanya segelintir siswa dan mahasiswa yang bisa menerima dengan lapang dada, bukan tanpa alasan, sebab masih banyak daerah yang berada di pelosok desa tidak tersentuh sama sekali oleh infrastruktur jaringan sehingga itu sangat berdampak bagi para siswa dan mahasiswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar yang dilakukan dengan menggunakan media online.
Tidak cukup sampai di situ, siswa dan mahasiswa juga banyak yang mengeluhkan ketidakpunyaan mereka akan ponsel pintar yang mampu digunakan untuk bersekolah maupun kuliah. Sangat banyak pro dan kontra terkait sistem pendidikan yang menggunakan sistem seperti ini, sebab sangat banyak terlihat ketimpangan yang terjadi antara aktivitas sosial dengan aktivitas pendidikan. Belum lagi menyangkut mengenai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diterapkan oleh beberapa daerah di Indonesia terutama kota metropolitan Indonesia, yaitu Jakarta. Saya selaku mahasiswa merasakan keanehan yang sangat luar biasa mengenai adanya PSBB yang terlihat sangat totalitas berdampak bagi outnya sistem belajar mengajar di dalam sekolah dan kampus, akan tetapi untuk keefektifannya sendiri dalam menekan angka kasus terinfeksinya COVID-19 di Indonesia tidak terlalu memuaskan, yang ada malah Indonesia terancam melawati resesi ekonomi yang luar biasa, dan bukankah itu pasti akan berdampak besar terhadap aspek pendidikan, sosial, dan aspek lainnya di Indonesia?
Hadirnya Nadiem di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Menteri untuk dunia pendidikan di Indonesia sangat diuji kemampuannya dalam meng-handle pendidikan dengan hadirnya pandemi di tengah-tengah masyarakat Indonesia ini. Pandemi yang berasal dari negeri tirai bambu tersebut cukup membuat kocar-kacir formasi yang sudah dijalankan Mendikbud, terkhusus di dunia Perguruan Tinggi. Nadiem Makarim membuat sebuah kebijakan yang disebut Kampus Merdeka, belum diterapkan secara efektif di Indonesia akhirnya mau tidak mau Mendikbud kembali harus membuat sistem baru, yaitu sistem belajar mengajar dengan menggunakan media online setelah dikeluarkannya aturan terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar yang tertuang dalam PP No. 21 Tahun 2020. Banyak mahasiswa kecewa terkait kebijakan ini sebab jika sistem perkuliahan menggunakan sistem online, banyak mahasiswa yang berada di kampung/ desa mengeluh akan jaringan yang tidak tersedia, kalau pun ada, tempat jaringan. itu sangat jauh dari lokasi rumah dan hanya ada pada tempat-tempat tertentu. Selain itu, mahasiswa juga mengeluhkan akan subsidi kuota yang tidak menemukan kejelasan, adapun yang mendapatkan bantuan dari pemerintah tetapi bantuan kuota tersebut sangat tidak merata bahkan mahasiswa yang selayaknya dapat tetapi malah tidak mendapatknnya. Pertemuan perkuliahan yang dilakukan secara online juga sangat tidak efektif, sebab ketika terjalinnya kegiatan belajar mengajar online itu banyak dari mahasiswa sulit untuk mendengarkan materi dengan baik dan susah untuk memahami materi yang disampaikan oleh dosen. Selain itu mahasiswa juga merasa mudah bosan karena tidak terjadinya dialog langsung antar mahasiswa dan mahasiswa, mahasiswa dan dosen, itu jelas akan berdampak pada feetback yang ditimbulkan. Alasan-alasan tersebut selalu kami utarakan kepada pihak kampus serta pemerintah pusat untuk mohon mempertimbangkan hal-hal tersebut ketika ingin membuat sebuah perubahan kebijakan baik itu perubahan kebijakan yang terencana maupun tidak. Akhirnya banyak dari kalangan mahasiswa merasa kecewa akan hal ini, yang lebih miris yaitu kurang dari setahun kebijakan ini berjalan sudah ada yang merenggut korban jiwa akibat daripada perjuangan mereka dalam mencari jaringan yang jauh dari rumah dan jauh daripada dataran rendah.
Perjuangan yang tidak mudah bagi mereka untuk bisa mengikuti perkuliahan secara online menunjukan bahwa Indonesia masih terbilang belum siap untuk menyesuaikan dengan matang terkait perubahan sistem yang seperti ini. Pendidikan semakin buruk, ditambah krisis ekonomi yang melanda para orang tua mahasiswa, menyebabkan banyak mahasiswa yang mengajukan cuti kuliah di masa seperti ini. Ada yang bertahan akan tetapi harus habis-habisan mengorbankan harta benda untuk bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk daftar ulang di semester yang dilanda oleh pandemi COVID-19 ini. Pemerintah seperti melakukan pemaksaan aktivitas pendidikan di situasi yang sangat tidak memungkinkan, mahasiswa juga merasakan bahwa langkah-langkah mereka seolah-olah dimatikan oleh pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas kritis terhadap kebijakan pemerintah sejenis demonstrasi menuntut akan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap telah menyimpang dari pada harapan masyarakat terkait dunia pendidikan.
Sampai pada hari ini, mahasiswa masih banyak yang berharap penuh agar situasi dan sistem pendidikan di masa pandemi COVID-19 bisa cepat berakhir, sehingga kegiatan belajar dan mengajar bisa berjalan seperti biasanya. Kepada para pengendali pemerintahan dengarlah rintihan orang-orang yang mengeluh dan merasa keberatan. Mereka adalah rakyat yang menjadi sebuah kewajiban pemerintah untuk terus diperhatikan, diayomi, serta dilindungi hak-hak mereka. Mungkin tidak banyak yang mereka harapkan, hanya sedikit perhatian dari pemerintah terkait hal-hal yang mereka tuntut dan mereka keluhkan. Saya tahu kalian para penyelenggara pemerintahan di negeri ini sudah cukup berusaha akan hal itu, tetapi tidak cukup hanya memainkan regulasi dan tanda tangan kalian untuk mengesahkan segalanya. Tetapi sentuhan emosional dari orang-orang dalam struktur pemerintahan juga mereka tunggu dan mereka harapkan, agar semangat tidak hanya didorong dari jiwa mereka sendiri. Dukungan moril tentunya sangatlah dibutuhkan selain daripada materil yang diberikan.
Reporter : Rahmat Hidayat
Editor : Mei Hani Anjani