Home / Warta Pontianak / Budaya Bullying dan Perundungan di Kalangan Terpelajar

Budaya Bullying dan Perundungan di Kalangan Terpelajar

wartaiainpontianak.com-Layaknya budaya kasus bullying di Indonesia sangat marak dan kian lestari, apalagi di lingkungan sekolah yang notabenenya merupakan tempat belajar serta pencarian jati diri di masa remaja. Meskipun semenjak era pandemi kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring namun tidak menutup kemungkinan bahwa kasus bullying juga dapat terjadi di luar lingkungan sekolah. Secara singkatnya bullying merupakan suatu keadaan di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang. Praktik bullying dikelompokkan menjadi bullying fisik (berupa tindakan fisik), bullying verbal (ejekan,umpatan,) maupun bullying mental (mendiamkan,mengucilkan).

Dengan dalih bercanda ataupun iseng para pelaku bullying menciderai korbannya baik secara fisik maupun mental, terlepas dari pelaku yang di bawah umur tetap saja hal ini bukanlah sesuatu yang layak untuk diwajarkan, terlebih lagi hanya karena mereka belum mencapai kedewasaan. Sebelumnya di Kalimantan barat sempat ramai beredar video perundungan oleh empat anak berusia 13 tahun terhadap korban yang berusia 8 tahun.

Peristiwa tersebut terjadi tepatnya di Pontianak utara, Teras Parit Nanas dan langsung viral di media sosial via Instagram, Dalam video tersebut terlihat keempat anak itu menertawakan serta menarik narik kerudung korban disertai dengan umpatan dan kata kata yang tak pantas. Beruntung polisi selalu bertindak cepat terhadap suatu hal yang viral di jagat media, sehingga keempat pelaku bullying akhirnya diringkus dan dimintai keterangan di Polsek Pontianak Utara pada Kamis 6, Januari 2021. Peristiwa ini memang tidak terjadi di lingkungan sekolah, namun dapat dicermati bahwa keempat pelaku yang masih di bawah umur ini merupakan siswa SMP (sekolah menengang pertama) yang sama sekali tidak menunjukan sikap seorang insan yang terpelajar.

Ditempat yang berbeda tepatnya di SD Negeri di Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan seorang siswa berinisial RS mengalami depresi berat usai diduga menjadi korban perundungan oleh teman-temannya. Ironisnya, RS di-bully selama dua tahun atau sejak ia duduk di bangku kelas IV SD. Pribadi RS kemudian berubah. Awal mula bullying terjadi gara-gara jam dinding. Ketika duduk di kelas IV, RS bermain bola di dalam kelas, bola yang ditendang RS tanpa sengaja mengenai jam dinding hingga jatuh ke lantai.

“Jam dinding pecah dan kami belum bisa ganti karena kata pihak sekolah harganya Rp 300.000. Sejak saat itu anak saya selalu di-bully, bahkan pernah disekap di kelas oleh teman-teman sekelas. Rambutnya dijambak, diludahi, disiram air, Kami sudah konfirmasi ke sekolah, tetapi respons tak baik, bahkan suami saya diusir,” kata Masrikah. Namun saat dikonfirmasi, pihak sekolah membantah adanya bullying.

“Mohon maaf tidak ada istilah bullying. Ini kejadian gaduh biasa antar siswa. Orangtua tidak tahu persis kejadiannya, hanya menerima laporan anaknya,” kata Kepala SDN 2 Wirosari Ngadiman.
Bullying dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan juga kepada siapa saja, bahkan MENDIKBUD (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) Nadiem Makariem menceritakan bahwa dirinya juga pernah menjadi korban bullying sewaktu dirinya masih bersekolah. Hal ini ia sampaikan ketika melakukan bincang – bincang santai seputar pendidikan via live instagram. “Saya lumayan gemuk dan saya selalu orang yang kelihatan beda dari teman-teman saya, baik di Indonesia saya mukanya beda, saat di New York ke middle school juga mukanya beda, jadi saya lumayan dapat intensif beberapa bullying. Bukan bullying yang fisik tetapi bullying yang verbal. Itu yang saya dapat,” cerita Nadiem. Ketika menetap di asrama pun, Nadiem menuturkan juga mengalami beberapa bullying secaa fisik. “Terus terang saya enggak tahu teman saya satupun yang tidak mengalami satu atau dua jenis bullying. Mayoritas dari teman-teman saya yang cerita, mereka pernah mengalami dan traumanya itu enggak pernah hilang. Sampai hari ini saya masih merasa trauma itu dan mungkin ingin membuktikan ke orang-orang yang nge-bully saya itu kalau mereka salah,” tutur Nadiem. Untungnya, lanjut Nadiem, hingga umur 14-15 tahun circle pertemanannya mulai meluas sehingga ia tidak sempat untuk balas dendam, meski kemarahannya karena di-bully masih terasa.

Nadiem memaparkan hasil riset yang didapat dari tim khusus dari KEMENDIKBUD bersama Unicef yang di khususkan untuk menaganani masalah ini bahwa mayoritas pem-bully ditemukan memang pernah mengalami kekerasan atau bullying maupun trauma.” Jadi dia harus mengeluarkan dominasinya dia untuk merasa punya power. Jadi banyak bullying terjadi karena itu,” paparnya.

Ketika perundungan juga masih marak terjadi di dunia pendidikan hal ini tentu menjadi sesuatu yang memperihatinkan. Fenomena ini menjadi perhatian dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Riana Nurhayati , S.Pd., M.Pd, bersama Prof. Dr. Siti Irene Astuti Dwiningrum, M.Si., dan Dr. Ariefa Efianingrum, M.Si. untuk melakukan peneltian terkait perilaku bullying.

“Fenomena kekerasan maupun penindasan ini tentunya harus mendapatkan perhatian lebih dan penanganan yang komperhensif baik dari pemerintah, sekolah, orang tua maupun siswa itu sendiri. Pendidikan sebagai institusi tentulah harus bisa melakukan control social terkait hal tersebut” ujar Riana. Tak hanya dari kalangan dosen dan pejabat berbagai pihak turut memberikan tanggapan terkait kasus bullying ini. Dari kalangan public figure misalnya. Deodatus Andreas Deddi Cahyadi Sunjoyo atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Deddy corbuzier, Mentalist, Youtuber,Presenter sekaligus aktor ini juga mengecam keras aksi bullying yang kerap terjadi di Indonesia.
Deddy mengaku tak habis pikir saat melihat pelaku bullying dengan bangga memvideokan, menyebarkan dan memamerkan aksinya di media sosial ketika melakukan perundungan.

“Tidak ada yang bisa anda banggakan sama sekali dari kasus pembullyan yang anda lakukan kecuali menunjukan bahwa diri anda adalah pengecut dan pecundang, that’s it, you are nothing more then such a loser” ungkap Deddy dalam program talkshownya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima setidaknya 37.381 laporan perundungan dalam kurun waktu 2011 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan. Sementara itu, Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada Tahun 2018 mengungkapkan, sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan. Selain itu, di tahun yang sama, Indonesia juga berada di posisi ke-5 dari 78 negara dengan murid yang mengalami perundungan paling banyak.

Sebagian besar pihak sekolah yang muridnya terjerat kasus bullying malah cenderung memberikan kebijakan dengan cara menyelesaikan masalah bullying ini secara kekeluargaan. Hal tersebut banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak terlebih lagi para orang tua, karena menurut mereka hal tersebut tidak layak untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan apabila kasus semacam ini tidak diimbangi dengan sanksi yang berat kepada pelaku bullying. Maka dikhawatirkan kejadian serupa akan terus berulang lantaran tidak adanya efek jera yang diberikan.

Dalam Undang-Undang telah mengatur tentang tindakan bullying di lingkungan pendidikan pada Pasal 54 UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/pihak lain, (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah dan/masyarakat.

Negara Indonesia merupakan sebuah negara hukum tapi dalam hal penegakan hukum maupun realisasi dari kebijakan yang ada tampaknya masih kurang, terkhususnya pada kasus bullying. Kebanyakan kasus tidak ditindakanlanjuti dengan hukuman atau sanksi. Pelaku hanya dituntut memberikan permohonan maaf dan video klarifikasi atas perlakuannya, setelah itu kasus tersebut dianggap selesai. Meskipun pelaku bullying seringkali di bawah umur namun sanksi yang berat tetaplah mesti diberikan, agar ada efek jera yang ditimbulkan dan ada rasa takut didalam diri setiap orang untuk melakukan bullying.

Penulis : Rifqi Alfurqon
Editor : Tim Redaksi WARTA

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *