Penulis : Indah Chandika Anysavira
“Kak lihat dia, dia sangat hebat bukan, suaranya juga sangat bagus” oceh seorang adik kepada kakaknya saat mereka menonton sebuah ajang pencarian bakat di sebuah stasiun televisi, “Hem… nanti kalau sudah besar aku ingin bisa bernyanyi seperti dia” lanjut sang adik lalu ditanggapi dengan senyuman oleh kakaknya “kau pasti bisa, yakinlah” semangat sang kakak dan akhirnya mereka tertawa bersama.
Sepenggal ingatan itu selalu membuat hatiku sesak, sosok kakak yang dulu kubanggakan kini berubah menjadi seorang yang sangat menyeramkan di dalam kehidupanku, sejak ayah dan bunda meninggal, kakak pun berubah menjadi seorang yang sangat berbeda, dia selalu membentakku, memarahiku bahkan menamparku saat satu kesalahan kecil yang aku perbuat, aku pun tak tahu kenapa semua ini berubah sederastis ini, tak ku bayangkan betapa dulu wanita yang selalu tertawa bersamaku kini tumbuh menjadi wanita yang amat sangat mengerikan, aku selalu berharap bahwa suatu saat tuhan akan mendengarkan do’aku dan membuat kakak kembali seperti dulu,
“Hei… Vira kemari kau” teriak kakakku dari ruang tamu, aku bergegas menghampirinya dan saat aku tiba di sana “Plak” sebuah tamparan kembali melayang di pipi kananku.
“Apa kau masih tidak mengerti, hah!! Aku bilang jangan pernah mencoba untuk menulis sebuah lagu, tapi apa ini” bentaknya sambil melempar beberapa lembar berisikan lirik lagu itu ke depan wajahku. Badanku sudah bergetar sejak tadi karena kecerobohanku menaruh lirik lagu itu di meja ruang tamu,
“Maafkan aku kak, aku mohon jangan memarahi aku lagi” kataku, jangan ditanya soal air mataku, dia sudah keluar sejak kakakku menamparku tadi. “Baiklah aku akan berhenti memarahimu hari ini, tapi sampaiku lihat lagi ada lirik lagu di depan mataku, aku tak akan segan untuk lebih dari menamparmu, mengerti?” katanya lalu pergi menuju kamarnya, aku merendahkan badanku untuk mengambil kertas kertasku yang berserakkan “Ayah, bunda tenanglah aku baik-baik saja” monologku sambil tersenyum lalu bangkit menuju kamarku.
Aku pergi sekolah setelah memasak sarapan untukku dan kakak walau aku tau aku tetap akan makan sendirian di depan meja makan yang luas ini sedangakan seseorang yang aku tunggu itu masih tertidur pulas. Aku tak tega membangunkannya karena setelah orang tua kami meninggal kakaklah yang membiayai sekolah serta kebutuhan hidupku. “Bagaimana Ra? Kau jadi ikut lomba minggu depan?” tanya Riffa padaku saat aku sudah duduk di bangku kami, Riffa adalah sahabat terbaikku, dia yang selalu mendukungku dan menyemangatiku untuk selalu bernyanyi. Dia bilang suaraku ini bagus jadi sungguh disayangkan jika aku tidak mengembangkannya tapi entahlah aku masih meragukan suaraku sendiri ditambah lagi kakak sangat menentangku. “Ntahlah Riff, aku masih ragu ”kataku bimbang. “Apa ini karena kakakmu lagi?” tanyanya, aku mengangguk menanggapi pertanyaan Riffa “Sudah kubilang kan, jangan takut Vira, jangan takut, tunjukan bahwa kau ini mampu“ Riffa memberikan semangatnya padaku. “Tapi bagaimana jika sampai kakak tahu?”. Selalu itu yang aku pertanyakan pada Riffa setiap dia memberiku sebuah motivasi. “Percaya padaku Ra, kakakmu tidak akan tahu tentang ini” .Dan lagi-lagi itu yang aku dengar untuk kesekian kalinya.
Saat sudah sampai di rumah aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru rumah, tak kulihat tanda-tanda kehidupan di sini. Sedikit lega itulah yang aku rasakan, pasalnya aku bisa berlatih menyanyi jika kakak sedang bekerja, aku mengambil gitar yang aku simpan di bawah kasurku dan mulai bernyanyi. Sepintas teringat kenangan masa kecilku yang begitu bahagia dengan kakak. Kami bermain dan menyanyi bersama bahkan kakak selalu mendukung cita-citaku in. Namun sekeping kejadian itu menghancurkan sebuah kenangan manis. Dimana saat itu aku beserta keluarga kecilku akan mengantarku untuk mengikuti lomba menyanyi. Terlihat dari arah yang berlawanan sebuah mobil yang tak tau kenapa terlihat kehilangan keseimbangannya mencoba menerobos jalan lawan dan ayah pun mencoba membanting stir untuk menghindari mobil tersebut tapi nahasnya mobil yang kami kendarai menabrak sebuah lampu lalu lintas dengan sangat keras. Masih terlintas di pikiranku. Kakak memeluk erat tubuhku menjaga agar aku tak terluka. Saat aku dan kakak melepaskan pelukan kami, pandanganku tertuju pada dua manusia yang aku cintai sudah terkulai lemas tanpa nyawa. Kakak mencoba meneriaki nama ayah dan bunda namun tak ada respon, dan aku, aku hanya menangis tersedu-sedu. Hari yang seharusnya indah berubah menjadi hari yang sangat buruk dan sulit untuk dilupakan.
Tak terasa imajinasiku terbang melayang ke kejadian 11 tahun yang lalu dan membuatku meneteskan air mata ini lagi, air mata yang penuh dengan kesesakan dan kepahitan, aku mengusap kasar air mata itu “Ayah, bunda andai saja hari itu tak terjadi, andai saja saat itu aku tidak jadi mengikuti lomba pasti ayah dan bunda tak akan pergi seperti ini”. Isakan demi isakan akhirnya yang mendominasi kamarku sampai aku merasakan lelah dan terlelap di sana. Hari kembali pagi, kembali ke sekolah lagi dan kembali belajar lagi namun otakku tak pernah bersatu dengan hatiku. Aku ingin fokus pada pelajaran tapi hatiku selalu saja gundah dengan keputusan yang akan aku ambil ini. Akhirnya aku mengambil sebuah kertas dan menulis sebuah surat.
Kak ini aku Vira, maaf karna aku tak pernah berani untuk berbicara secara langsung kepada kakak, jujur aku takut pada kakak, takut kalau kalau aku dibentak dan ditampar lagi oleh kakak, aku hanya ingin kakak tahu aku sangat menyayangi kakak, hanya kakak yang aku punya sekarang dan kakaklah yang paling berharga, kak boelhkah aku mengeluarkan semua keresahan hatiku ini, sungguh kak, aku sangat rindu dengan kakak, rindu dengan candaan kita, rindu disaat kita menyanyi bersama, ah… bahkan aku yakin kakak tak ingin lagi mendengar kata itu, kata yang membuat kita berada diujung maut dan mengambil ayah dan bunda, tapi kak aku tak ingin terpuruk dalam lubang yang sama, aku ingin bangkit dan menyanyi lagi kak, kakak ingat kakak yang bilang bahwa kakak akan selalu mendukungku, ayah dan bunda pun akan mendukungku jadi aku akan mulai bernyanyi lagi kak, aku ingin membuat ayah, bunda serta kakak bangga padaku kak, aku akan mengikuti sebuah ajang bergengsi kak, dimana mereka akan membantuku menggapai cita-citaku, kuharap kakak masih memegang kata-kata kakak untuk selalu menyemangatiku.
Akhirnya hari dimana audisi besar-besaran menungguku telah tiba. Aku sengaja bersiap dari saat fajar tiba agar aku mendapat barisan depan. Aku menaruh sebuah surat yang aku tulis beberapa hari yang lalu untuk kakak tepat di depan pintu kamar kakak. Sampai di tempat audisi aku memeriksa ponselku dan mendapati sebuah pesan dari Riffa yang isinya “Semangat Vira, aku yakin kamu bisa” aku mengulum senyum lalu kembali menatap gedung bertingkat itu.
Aku menarik nafas panjang dan melangkahkan kakiku menuju mimpi besarku. Aku melihat banyak sekali peserta yang ikut berpartisipasi dalam audisi itu. Nyaliku saja hampir ciut jika aku tak mengingat ayah, bunda dan kakak, aku membuka dompet dan melihat sebuah foto yang menampakan ayah bunda aku dan kakak. Senyumku kembali mengembang “Ayah, bunda, kakak lihatlah aku akan berhasi menggapai mimpiku” monologku.
“Peserta nomor 21 silahkan masuk” kata seorang panitia. Aku mendongak mendengar nomor audisiku tepanggil, aku segera berdiri dan menuju ruang audisi. 20 menit berlalu dengan sangat lama, akhirnya aku keluar dengan membawa sebuah kertas yang menandakan aku masuk ke tahap selanjutnya.
Senyumku pun tak pernah lepas dari wajahku. Aku merogoh saku untuk mengabil ponsel, niatku ingin mengabari Riffa bahwa aku lolos ke tahap selanjutnya namun rasa gelisah kembali menghantuiku karena aku melihat 21 panggilan tak terjawab, 19 dari kakak dan 2 lagi dari nomor yang tak kuketahui. Aku mencoba menelpon nomor itu yang membuat aku penasaran pasalnya tak ada yang mengetahui nomor ponselku kecuali kakak dan teman teman terdekatku, berdering sekali dan langsung diangkat.
“Halo ini dari pihak rumah sakit ada yang bisa saya bantu?” aku tersentak kaget hatiku mulai tak karuan merasa ada sesuatu yang mengganjal dihatiku.
“Tadi rumah sakit ini menelpon di nomor saya, kenapa ya?” tanya ku perlahan, terdengar helaan nafas dari suara diujung sana “Anda nak Vira, benar?” tanyanya lagi sebelum ke inti persoalannya
“Iya benar” jawabku cepat, “Maafkan kami pada pukul 12.30 tadi saudari anda yang bernama Sherania telah meninggal dunia karena penyakit yang menyerang saraf otaknya, anda bisa langsung menuju rumah sakit untuk membawa pulang jenazahnya” kata suster itu yang membuat seluruh tubuhku bergetar dan luruh begitu saja ke lantai. Sontak semua tatapan menuju ke arahku karena mendengar isak tangisku yang begitu kencang “Kakak, tolong saya, antar saya kerumah sakit” teriakku tak tentu arah pada siapa, kulihat dari sisi mataku ada sebuah staf yang mendekat “Dik, kamu kenapa?” tanya staf tersebut.
“Pak, bisa tolong antar saya ke rumah sakit pak, kakak saya meninggal pak, saya harus kesana” kataku sambil terisak.
Kulihat staf itu terkejut “innalillahi wa innailaihirojiun dik, ayo saya antar” katanya dan langsung menopang bahuku menuju mobil yang akan melesat kerumah sakit.
Sampai di rumah sakit aku langsung menuju ke meja suster “Sus, mayat kakak saya dimana?” tanyaku masih dengan isakkan.
“Siapa nama kakak adik?” tanya susternya menenagkan “Sherania sus, dimana dia? ” tanyaku lagi tak sabaran.
“Mari saya antarkan dik” kata susternya yang langsung berjalan mendahuluiku dan aku berada tepat dibelakangnya.
Sampai di sebuah kamar yang telah memperlihatkan sebuah mayat yang sudah ditutupi oleh sebuah kain putih, aku mendekat dan membuka kain tersebut. Betapa pilunya hatiku mendapati sebuah wajah yang amat aku kenali itu sekarang sudah pucat dan dingin. Bagaimana tidak, waktu meninggal 12.30 dan aku mengetahui kematian kakak setelah 16.00 terpaut tiga jam lebih tiga puluh menit. Tangisku semakin pecah di dalam sana “Kakak kenapa nyusul bunda sama ayah cepet banget, aku belum sempat liatin ke kakak tanda aku lolos ke babak selanjutnya, kak, kakak bangun kak” tangisku sambil terisak. Namun suster menepuk pundakku yang otomatis membuat aku menoleh menghadap suster tersebut “Ini ada titipan buat kamu dik” kata suster itu sambil menyerahkan sebuah kertas lusuh karena sudah terlihat seperti diremas. Aku mengambil kertas itu dan membukanya, tulisan yang sangat aku kenal.
Teruntuk adikku sayang Saviera, maafkan kakak yang selalu berbuat kasar padamu, kakak benar-benar tak memiliki maksud apapun, jujur setelah menamparmu kakak menangis merutuki perbuatan kakak yang sangat buruk padamu, kakak tahu kakak sangat egois ra, kita beruda telah kehilangan ayah dan bunda namun kakak masih belum menerima semuanya dan akhirnya melapiaskan semuanya padamu dan menyalahkanmu atas segala yang sudah terjadi, egois bukan. Saat seharusnya kita bangkit sambil berpegangan tangan dan melalui keterpurukan bersama kakak malah melepaskan tanganmu begitu saja dan berlari sendiri, jujur setelah mengetahui penyakit kakak ini kakak semakin terpuruk ra, kakak bingung harus gimana lagi, kakak takut ninggalin kamu ra, kakak tau kamu tersiksa selama ini ra, maafin kakak ya ra kakak ngga pernah memberikan kasih sayang kakak ke kamu, kakak malah memperburuk mentalmu, maafkan kakak ra, tapi di balik itu semua ra kakak sangat sayang sama kamu ra, Cuma kamu yang kakak punya, Cuma kamu harta berharga kakak ra, kakak ngga akan larang kamu lagi ra, kamu harus menggapai cita-cita kamu, jadilah penyanyi yang berbakat dan tunjukan pada semua orang kalau kamu hebat ra, maafin kakak lagi ya ra, kakak nyusul ayah dan bunda duluan. Kakak, ayah dan bunda pasti liat kamu dari atas sini, oh iya lupa, sarapan yang selalu kamu buat tiap pagi buat kakak enak loh, cocok jadi koki juga tuh kamu hehe, salam cinta dan kasih kak shera.
Sebuah senyum terukir jelas di wajahku “Aku janji kak ngga akan ngecewain kakak, ayah dan bunda” monologku sambil memeluk surat kakak erat-erat
Sebuah telepon membangunkan aku dari tidur nyenyakku, aku pun mengambil ponselku yang aku letakkan di meja tidur “ya Allah ra ini udah jam berapa kamu 2 jam lagi mau hadir di acara Billboard Music Award, kamu ngga lupa kan?” seketika posisi tubuhku tegak “ya Allah vira lupa mba, aduh mba dimana, ke sini cepet ke kamar aku bawa makeup sekalian ya mba, baju nya udah ada di sini” kataku tanpa menghiraukan jawaban dari manager ku yang aku panggil mba tadi, aku bergegas ke kamar mandi dan bersiap.
Disinilah aku berada, di ajang musik paling bergengsi di dunia dan tepat berada di pusat dunia USA di acara Billboard Music Award, aku berhasi menggapai cita-citaku, dan liahatlah sekarang aku walau penuh dengan tantangan dan rintangan tak lekat membuatku tetap bertahan dan samapi di tahap ini. Tahap dimana aku menyebutnya dengan sebuah kesuksesan besar, karna kita semua tau tak semua orang bisa masuk kedalam acara bergengsi ini, dan semua ini tak lepas dari do’a dan kerja keras,
“And the top social artist is saviera from indonesia” ucap seorang artis yang membacakan pemenang nominasinya dan itu aku, seluruh orang ada di dalam ruangan tersebut berteriak histeris dan memberikan standing applause padaku, aku maju kedepan dengan bangganya dan menerima tropi yang selama ini aku cari, aku merai mikrofon dan mulai berbicara “pertama aku ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan semua ini padaku, tak lupa kedua orangtuaku dan kakak yang sudah tenang di alam sana, walau kita berbeda dimensi aku yakin kalian melihatku, dan juga teruntuk mba mira selaku managerku, and for my fans from all over the world, thank you so much” kataku mengakhirinya dengan bahasa inggris yang fasih, walau mereka tak mengerti apa yang aku ucapkan karena memang sedari tadi aku berbicara bahasa Indonesia namun mereka tetap memberikan tepuk tangannya padaku.
Saat ini aku sangat bahagia karena kesempatan besar yang diberikan Allah padaku, juga kebahagiaan ku dengan tercapainya seluruh cita-citaku ini seolah membayar semua do’a yang telah aku panjatkan pada sang Maha Kuasa dan semua kerja kerasku selama ini. Aku melangakah turun dari panggung dengan penuh senyum kebahgiaan terpancar diwajahku.
Semua orang pasti pernah merasa terjatuh dan terpuruk di sebuah lubang gelap, namun jangan jadikan kejadian itu menjadi sebuah alasan untuk kita selalu berada didalamnya dan menunggu pertolongan yang entah kapan akan datangnya, bangkitlah karena kesempatan kedua itu akan hilang jika kau terus menerus menyia-nyiakannnya.