wartaiainpontianak.com – Belakangan ini sedang gencar-gencarnya diskusi publik dengan mengangkat tema besar terkait Peraturan Daerah (PERDA) yang mengusung agar kota Pontianak menjadi kota yang toleran. Tentu masyarakat menyambut baik terkait wacana akan diadakannya PERDA ini, dikarenakan masyarakat Indonesia terkhususnya di Pontianak Kalimantan Barat di tinggali oleh berbagai macam suku, agama, ras serta budaya dan tentu sangat diharapkan dengan adanya PERDA ini dapat membuat masyarakat yang plural ini menjadi semakin toleran antara satu sama lain.
Pada tanggal satu Maret kemarin pembahasan terkait rancangan atau draf perda ini sempat dibicarakan dalam forum acara Diskusi Hybrid Pontianak Menuju Kota Toleran Melalui Kebijakan yang Inklusif di inisiasi oleh Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) bekerja sama dengan The Asia Foundation, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Pontianak, Satu Dalam Perbedaan (SADAP), Perkumpulan Merah Putih, dan Rumah Diskusi Est. 2017, di Dangau Hotel and Resort, Selasa, 1 Maret 2022.
Mengutip dari pontianak.tribunnews.com Ketua Pengurus Harian Yayasan SAKA, Sri Wartati menuturkan, dalam kondisi masyarakat yang heterogen di Kota Pontianak Kalimantan Barat ini, maka Rancangan peraturan daerah (RAPERDA) yang diusulkan tersebut menjadi jembatan dalam membantu untuk menyelenggarakan dan memastikan bahwa toleransi terselenggara dengan baik di Kota Pontianak. Hal senada juga disampaikan oleh,Asisten Administrasi dan Umum Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat (Asisten III Sekda Prov Kalbar), H. Alfian.
Dirinya mewakili Pemerintah provinsi mengapresiasi atas terselenggaranya Talkshow multi stakeholder yang diusung oleh SAKA bersama berbagai salah satu stakeholder termasuk Pemerintah Kota Pontianak untuk mempersiapkan berbagai Rancangan daerah untuk mengatur toleransi kehidupan masyarakat di Kota Pontianak.
“Ini satu hal penting untuk menumbuhkan toleransi kehidupan yang damai dan harmonis di tengah isu yang berkembang saat ini, sehingga diharapkan semangat yang dibangun oleh SAKA bersama stakeholder lainnya bisa mewujudkan tata kelola kehidupan toleransi dalam masyarakat, karena Pontianak kota beragam, baik suku agama, adat istiadat dan budaya. Maka Melalui RAPERDA ataupun Perda nantinya, toleransi bisa diciptakan.” Ujarnya.
Kehidupan dan kerukunan antar masyarakat yang plural tentu sangatlah diharapkan, namun jika minimnya kesadaran diri untuk toleran antar satu sama lain tentu menjadi satu dari sekian banyak faktor dari sulitnya kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat dapat tercapai. Terlebih lagi ketika dihadapkan dengan masyarakat yang sifatnya Heterogen.
Dalam forum tersebut Prof. Dr. H. Zaenuddin Hudi Prasojo selaku narasumber turut menyampaikan pandangannya, jika melihat dari sisi akademik, dirinya menyoroti bahwa RAPERDA ini memerlukan riset yang matang.
“Melihat dari sisi akademik, menyoroti bahwa RAPERDA perlu riset yang matang, apalagi tentang Toleransi dan hal ini juga cukup sensitif, jadi perlu menyesuaikan dengan realitas. Toleransi di atas kesadaran kelompok, tapi perlu komitmen bersama untuk hidup rukun dan damai,” ungkap Zaenuddin.
Mengingat kita hidup di masyarakat yang sangat plural tentu RAPERDA ini harus melalui kajian yang matang agar dapat dijadikan perda apalagi tujuan dari diadakannya perda ini untuk menata suatu hal yang sifatnya sangat sensitif. Tentu ada kekhawatiran ketika perda ini disahkan tanpa adanya kajian serta follow up dan penerapan yang matang di lapangan, dikhawatirkan malah menjadi Perda yang sia-sia karena tidak ter-realisai dalam kehidupan bermasyarakat.
Indonesia terkhususnya Pontianak Kalimantan barat perlu banyak belajar dari Negara tetangganya yaitu Singapura, menurut riset yang diadakan oleh Pew research center.
Institusi yang berakar di Washington D.C., Amerika Serikat itu membandingkan keberagaman agama di 232 negara dalam penelitiannya. Mereka mengukur persentase populasi yang beragama Buddha, Kristen, Hindu, Yahudi, Islam, kepercayaan adat, dan agama lain yang tak terafiliasi dalam Indeks Keberagaman Religi atau Religious Diversity Index (RDI). Singapura menempati urutan pertama dalam hal toleransi keaneka ragaman agama yang tertinggi, 33% mayoritas beragama budha dan Tao 11%, 15% bergama Islam, 18 % beragama kristen, 5,1% Hindu dan lainnya 0,9 % sedangkan 17 % sisanya tidak bergama.
Kurangnya follow up berupa sosialasi maupun penerapan secara real ke masyarakat ketika PERDA ini disahkan malah akan menjadi perda yang tak difungsikan dengan baik atau bahkan malah menjadi penyulut api – api kecil dengan landasan berupa payung hukum yang terdapat dalam RAPERDA tersebut. Maka dari itu sebelum RAPERDA ini disahkan dan menjadi perda tentu perlu dibahas juga terkait penyuluhan ataupun follow up berupa seminar maupun aksi penerapannya di lingkungan masyarakat, sehingga tidak terjadi disfungsi dalam penerapan perda tersebut.
Penulis : Rifqi Al Furqon
Editor : Tim Redaksi Warta