Merawat Indonesia adalah menerima apa yang berbeda. Indonesia tidak akan pernah bertahan lama walaupun memiliki berbagai alat pertahanan tercanggih sekalipun, jika tidak bisa menerima perbedaan sebagai fakta di bumi Indonesia.
Barangkali memang terdengar sederhana dan tidak populer. Tetapi hal itulah yang perlu dan penting anak muda gaungkan kembali di berbagai ruang yang bernama “media sosial”.
Sudah menjadi rahasia publik bahwa pengaruh konten-konten negatif cukup mengganggu dan mengikis persatuan kita. Banyak di antara kita justru menjadikan perbedaan sebagai kata kunci untuk saling memusuhi, untuk saling mencaci, juga menjadikan perbedaan sebagai dalil untuk melakukan tindakan kekerasan antar sesama anak bangsa.
Jika berbeda itu fakta kenapa harus marah?
Banyak yang sering marah oleh karena risih dengan sesuatu hal yang berbeda entah itu perihal berbeda keyakinan, tradisi, budaya, pilihan politik, hingga berbeda apakah mau minum kopi hitam atau kopi susu.
Kita sering lupa bahwa perbedaan itulah yang justru membuat pelangi itu terlihat indah. Kita bisa berdebat panjang perihal perbedaan kita, itu tidak bisa di hindari sekalipun di antara kita misalnya ada yang kembar identik pasti dan tidak bisa di hindari adalah perihal perbedaan itu sebagai fakta.
Lalu kenapa masih saja ada yang sering marah? Untuk menjawab itu saya meminjam apa yang di katakan oleh Buya Syafi’i Maarif “Barangkali mereka yang sering marah adalah orang-orang yang radius pergaulanya kurang jauh”.
“Radius pergaulan kurang jauh”. Ini menarik, kebanyakan memang yang sering kita lihat di lingkungan sekitar kita yang barangkali masih sangat masif takut akan perbedaan dan sering marah ketika melihat ada sesuatu yang berbeda memang adalah mereka yang cenderung ekslusif.
Belajar menerima dan mencari persamaan bukan menambah beban perbedaan.
Kita telah sama tahu bahwa kita akan selalu begitu, berbeda. Tugas kita saat ini adalah belajar menerima perbedaan itu melalui berbagai macam pertemuan.
Entah itu dengan aktif dalam berkegiatan mengikuti pelatihan ataupun forum-forum lintas iman di berbagai ruang apapun. Dari sanalah kita bisa menerima perbedaan dan bukan justru mencari-cari beban tambahan atas perbedaan.
Mencari kesamaan yang paling sederhana dan yang paling bisa mengikat kita sebagai generasi muda adalah pertama kemanusiaan, dan kedua adalah kita sama-sama manusia yang lahir di bumi indonesia.
Apapun agama, suku, ras, etnis dll. Atas nama manusia kita adalah sama. Terluka akan tetap berdarah merah sekalipun ada istilah darah biru di masa lalu, yang mendikotomi antara bangsawan dan budak.
Apapun dan di manapun tempat kita lahir, selama itu masih dalam teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita masih akan tetap di persatukan dan diikat oleh pancasila.
Sudahi memusuhi saudara sendiri atas nama perbedaan apapun. Musuh kita bukan mereka yang berbeda keyakinan, bukan juga mereka yang lahir di pulau yang dominan. Tapi musuh kita bersama adalah pemiskinan juga pembodohan.
Saya ingin menutup dengan; Tidak penting agama ataupun sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu (Gus Dur).
Penulis: Farid Mamonto (Mahasiswa IAIN Manado Program Studi PAI)