wartaiainpontianak.com – Berdasarkan Universal Declaration of Human Rights 1948 pasal 19, ditetapkannya Hari Kebebasan Pers Sedunia bertujuan untuk menghormati kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah akan tugas mereka untuk menghormati dan mematuhi hak atas kebebasan berekspresi. Sedangkan Pers menurut UU No 40 tahun 1999 antara lain merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Berikut adalah perkembangan pers secara internasional yang di awali pada masa Romawi yang saat itu adalah masa keemimpinan Cayus Julius Caesar (100-44 SM). Jules, nama akrabnya ini meneruskan tradisi raja-raja terdahulu yaitu menyiarkan kabar mengenai keputusan di papan pengumuman. Proses penyiaran tersenut diberi nama “FORUM ROMANUM” yang berisi Acta Diurna (laporan atas sidang-sidang senat dan keputusannya) dan acta diurna populi (berisi laporan hasil rapat rapat rakyat dan berita berita lainya. Sejak saat itu maka penyiaran berita romawi dikenal dengan istilah Jurnalis yang berasal dari kata diurnalis atau mereka yang menjadi juru tulis senat.
Namun, para ahli sains percaya adanya agama juga berkecimpung dalam perkembangan penyiaran berita terutama Islam, perkembangan jurnalistik sudah ada pada masa sebelum Julius. Seperti pada catatan Eumenes, 363 SM. Eumenes telah membuat kisah orang-orang ternama masa dari Alexander yang agung sampai Aristoteles. Kembali lebih jauh lagi beribu tahun ke belakang adalah masa Nabi Nuh. Katanya, saat banjir besar menghantam bumi atau berakhirnya zaman es, riak jurnalistik sudah terbangun. Nabi Nuh AS membutuhkan kabar yang akurat dan faktual tentang kondisi daratan. Dikirimlah jurnalis dadakan, yakni, burung merpati karena dipercayai mampu memiliki kemampuan magnetus dan penciuman yang kuat pada hidung merpati. Merpati terbang berkeliling hingga menemukan ranting zaitun yang menyebul di lautan. Ranting itu dipatuk, lantas dibawa sehingga Nabi Nuh mengetahui kabar akurat mengenai surutnya air. Namun karena banyak ilmuwan yang tidak mengetahui hal tersebut. Hingga sekarang Julius Cesar masih dianggap tentang sejarah awal jurnalistik.
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali. Kemajuan penyebaran informasi tertulis sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak. Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris. Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada masa sekarang, tahun 2020 tentunya perkembangan media massa semakin pesat. Perkembangan pers yang tak lagi hanya memberikan informasi parlemen, kini telah merambah pada kondisi dimana tingkat “Viral” jauh lebih penting dibandingkan dengan dampak dari informasi tersebut sampai pada stigma masyarakat. Hoax dimana-mana, jika tak pandai menyaring maka hancurlah sudah stigma tersebut. Tidak pula salah dalam tulisan nya, karena tulisan tidak ada yang salah. Penerimaan atau intonasi membaca saja yang perlu digaris bawahi. Media massa tak lagi berada ada perusahaan besar.
Di kampus, sudah ada media yang menyajikan berita layaknya kantor perusahaan pers. Sebut saja salah satunya pers di kampus IAIN Pontianak. Lembaga Pers IAIN Pontianak ini bernama warta. Rekam jejak berdiri sudah tak dapat terdeteksi, hanya saja diketahui bahwa melesit pada masa Kundori tahun 2003. Kemudian pada tahun 2005 sudah menjadi tempat informasi berupa buletin kampus. Sejenak menghilang, bangkit kembali pada tahun 2013 yang diketuai oleh Selamet Funata, tahun 2014 terdapat dua jabatan ketua yaitu Hanafi yang kemudian digantikan oleh Dodi Afriadi. Tahun 2015 diketuai oleh Fathul Birri. Pada masa kepengurusan Fathul Birri ini mampu membuat portal berita online dengan link website, www.wartaiainpontianak.com . Sampai saat ini, Warta bergerak dengan dua media, yakni versi cetak dan versi online dengan satu tujuan yakni memberikan informasi kepada mahasiswa dan civitas akademika IAIN Pontianak khususnya dan masyarakat luas umumnya. Tahun 2016 oleh Zamal Saputra, tahun 2017 oleh Imam Maksum, tahun 2018 oleh Farli Afif dan 2019-sekarang yaitu Indah Chandika Anisyavira.
Warta sekarang tidak mati. Masih ada semua kepengurusan di dalamnya yang bergerak aktif. Hanya saja, banyak meragukan keberadaannya. Pernah suatu kejadian, ada yang menganggap bahwa warta “dikira” sudah tidak ada. Sungguh, itu orang yang tidak pernah update. Jelas-jelas hampir setiap hari, web di warta berisikan apa pun itu. Mulai dari berita, opini hingga sastra. Lembaga pers tentunya tidak selalu merumuskan informasi kebaikan. Tentunya ketimpangan yang dirasa perlu dibongkar lewat tulisan, maka harus dituliskan. Menyogok dengan terus menitip pesan bahwa “tulis yang baik baik ya” rasanya aneh dan tidak kooperatif.
Terlebih lagi ketika warta harus melakukan wawancara khusus yang dimana menyangkut nama baik ajan terus dihantui dengan DO yang mengancam mental itu bukan perkara mudah. Di satu sisi, kuliah sangat penting. Namun di sisi lain, membuat informasi yang jujur adalah hal yang dijunjung oleh pers. Maka jalan tengahnya adalah menulis dengan bahasa yang tidak menyudutkan tapi tepat sasaran. Untuk saat ini, posisi pers di IAIN Pontianak masih aman. Belum ada pemberontakan yang menghancurkan gairah menulis. Hanya saja, untuk beberapa pihak yang masih belum kooperatif silahkan diberi ruang sebebas-bebasnya selama dalam wawancara atau melobi masih menggunakan kaidah manusiawi yang normal.
Penulis : Feby Kartikasari
Editor : Syarifah Desy Safitri