Wartaiainpontianak.com – Konflik antaretnis di Kalimantan Barat yang pernah terjadi puluhan tahun silam, masih menyisakan “residu” berupa stigma dan prasangka di masyarakat. Kondisi ini berdampak hingga ke urusan personal, seperti kekhawatiran untuk menikah antaretnis. Saya, Feby Kartikasari, menemui tiga orang yang mengisahkan tentang pengalaman mereka pada masa konflik, serta pendapatnya tentang pernikahan antaretnis yang dahulu bertikai.
Anto (bukan nama sebenarnya) adalah seorang petani berusia 50 tahun. Anto adalah ayah tiga anak. Istrinya sudah meninggal dua tahun lalu. Kedua anaknya sudah menikah, sedangkan satu anaknya belum menikah lantaran masih berkuliah.
Anto adalah satu diantara korban terdmpak langsung konflik tahun 1999. Hingga kini dia merasa segan untuk bertemu dan dekat dengan orang dari etnis Melayu. Sedikit saja topik pembicaraan diarahkan tentang etnis Melayu, wajah Anto mulai memerah. Belum lagi apabila terjadi masalah yang sebenarnya tidak besar, maka amarah Anto akan memuncak. Dia masih memendam amarah, benci, dan kekecewaan terhadap konflik di masa lalu itu.
Bertahun-tahun telah berlalu, pembatasan sosial terus diberlakukan oleh Anto. Bahkan Anto menanamkan itu kepada keluarganya. Terutama dalam urusan pernikahan. Anto memperingatkan anak-anaknya untuk tidak berpacaran dengan etnis yang berkonflik. Sikap Anto sangat berpengaruh pada kisah asmara salah satu anaknya. Kala itu, anak keduanya menjalin kisah asmara dengan orang dari etnis Melayu. Anaknya berusaha merahasiakan hubungan tersebut dari Anto.
Akhirnya Anto mengetahui rahasia tersebut melalui teman kerjanya. Anto sangat marah pada anaknya dan membentak anaknya. “Kalau sampai nikah same etnis itu, aku ndak mau jadi wali. Jangan balek kerumah agik ye”
Sang anak terpaksa mematuhi perintah Anto, meski berat baginya meninggalkan pasangan. Akhirnya anak Anto menikah dengan lelaki lain dengan etnis yang sama dengannya. Walaupun menikah tidak didasari cinta, lama kelamaan anak Anto pun berusaha menumbuhkan rasa itu.
Rasa curiga yang dialami Anto juga dialami oleh Rinai (bukan nama sebenarnya) yang kini menjadi mahasiswi. Perempuan Melayi berusia 18 tahun itu menceritakan sisa-sisa konflik di kampungnya, Kabupaten Sambas. Konflik terjadi pada tahun 1999, tiga tahun sebelum Rinai dilahirkan. Berdasarkan cerita dari orang tua, kakek, nenek, dan beberapa orang yang mengalami kejadian di tahun tersebut, Rinai sedikit banyak paham mengenai kondisi konflik kala itu.
Ketika bercerita, mata Rinai bergerak ke kanan dan ke kiri, seolah sedang berpikir keras mengingat suasana sisa-sisa konflik. “Yang saye tau lah ye Kak ye, yang terjadi di rumah saye tu kaca rumah saye pecah kenak tembakan peluru, dan sampai sekarang masih ade.”
Rinai kembali mengutarakan, dia mengetahui konflik tahun 1999 melibatkan tiga suku yaitu Melayu, Dayak, dan Madura. “Penyebabnye saye kurang tau juga, yang pastinya pertempuran hebat memakan banyak korban,” tutur Rinai.
Konflik di masa lalu meninggalkan sisa prasangka Rinai dalam hal hubungan sosial. Dia tak ingin berteman akrab dengan orang dari etnis yang pernah bertikai dengan etnis Melayu. Dia tidak menaruh kepercayaan untuk bersahabat. Menyimpan rasa tidak percaya, bagi Rinai bukan berarti mendendam. Dia hanya belum mampu percaya karena pengalaman pahit di masa lalu. “Dari diri saya sendiri, untuk rasa dendam mungkin tidak ada. Itu mungkin juga karena saye tidak merasakannya sendiri, tetapi dari keluarga pun Insya Allah tidak menaruh dendam apa pun lagi.”
Saya menanyakan pendapat Rinai tentang pernikahan orang-orang dengan antaretnis yang pernah bertikai. Dia mengatakan bahwa kondisi terkini di Sambas yang biasa dia dengar, Rinai berpendapat bahwa suku Madura tidak boleh masuk ke wilayah Sambas. Jadi dia menilai akan sulit bagi pasangan antaretnis yang pernah bertikai tersebut untuk tinggal dan menetap di Sambas. “Gimane lah ye, kayaknye sulitlah nikah kayak gitu. Dalam artian untuk tinggal pun sepertinya bukan tinggal di daerah Sambas, tetapi di daerah lain.”
Berbeda dengan Anto dan Rinai, Muhammad (bukan nama sebenarnya) justru sudah mulai tidak ingin menjadikan pengalaman masa lalu sebagai beban. Muhammad bekerja di lembaga kemasyarakatan. Muhammad berusia 27 tahun. Saat ditemui, Muhammad tengah bersandar dengan mengangkat satu kakinya. Tangan kanannya sembari memegang kakiyang diangkat. Tangan kirinya bersandar diatas meja. Sedikit meninggikan badan, lelaki ini berbicara dengan nada yang santai.
Muhammad mulai bercerita mengenai konflik tahun 1999 yang dia rasakan. Dia merasakan konflik tersebut di daerahnya, yaitu Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah. Kala itu, Muhammad masih berusia tujuh tahun. Seperti anak pada umumnya, saat itu dia sedang bermain tabak lambong di teras rumahnya. Saat sedang asyik bermain, tiba-tiba ada orang berlarian dari arah timur. Orang itu berlari sembari membunyikan tiang listrik berulang-ulang, kode sedang terjadi peristiwa genting.
Saat kejadian tersebut, orangtua Muhammad sedang tidak bersamanya. Sang ibu sedang bekerja menoreh karet, sedangkan ayahnya menunaikan ibadah haji. Dengan sigap, Muhammad berlari sambil menggendong adiknya yang masih kecil dan kakaknya yang membawa serta pakaian.Warga sekitar berlarian menuju hutan lewat Sungai Dungun, melewati pohon-pohon kelapa yang besar menuju Pasar Mendalok.
“Anak-anak berlari masing-masing. Laki-laki maupun perempuan berlarian secara berpencar,” tutur Muhammad.
Setelah semua warga berada di pasar Mendalok, lalu diungsikan menggunakan mobil tentara menuju Anjungan, kemudian ditempatkan di Asrama Tentara.Saat itu semua orang berpisah dengan sanak keluarganya. Tetapi Muhammad kembali dipertemukan dengan keluarganya saat tiba di Asrama Tentara. Mereka tinggal disana lebih kurang selama dua pekan.
Dengan nada yang rendah seakan merasakan suasana pada masa itu kembali, Muhammad mengutarakan bahwa “Kami semua makan seadanya. Bahkan kami menggunakan tenda itu menggunakan tenda tentara, dan sempat banjir juga karena adanya hujan besar.Setelah dua minggu, keadaan mulai kondusif dan semua orang bisa pulang kerumah masing-masing.Walaupun tentara masih berjaga-jaga di kampung hingga berbulan-bulan.”
Akibat konflik, menurut Muhammad sempat terjadi pembatasan sosial. Dia menyampaikan bahwa pembatas yang dilakukan hanyalah keadaan yang waktu itu masih memanas. Kini keluarganya sudah tidak menjalankan pembatasan sosial, terbuka dengan pertemanan dan pernikahan antaretnis.
“Kemungkinan di Pontianak masih ada (pembatasan sosial) karena tidak adanya paham yang sama. Intinye ye ape ye, jangan terprovokasi dengan hal yang isu-isu tak jelas. Semisal ada permasalahan yang urgent, maka diselesaikan dengan bermusyawarah antar-para ketua.Sehingga menemukan titik jalan keluar,” tutup Muhammad.
Berdasarkan cerita di atas narasumber bernama Subro, Founder Mitra Sekolah Masyarakat (MiSeM) saat menikah dengan istrinya yang berbeda etnis. Keduanya berasal dari etnis yang berkonflik pada masa lalu dan mengajak untuk menghapus Stigma dan Prasangka.
Tahun 1998 dan 1999 saat kejadian konflik antaretnis, Subro masih kuliah di STAIN Pontianak. Akibat konflik tersebut, dia kesulitan biaya dan putus kuliah. Kemudian dia bekerja di Jakarta sambil melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Salahuddin Ayyubi Jakarta, Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI).
Keluarga Subro berasal dari Karimunting Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Sambas (pada saat itu status Kabupaten Bengkayang masih transisi pemekaran). Subro merupakan satu di antara korban terdampak konflik di tahun 1997 dan 1999. Dampaknya Subro dan orangtuanya pindah kerelokasi pengungsi di Madani, Kabupaten Kubu Raya.
Mengingat masa sebelum konflik, Subro menceritakan dia dan orangtuanya hidup bertetangga dengan beragam etnis maupun agama. Ada Melayu, Dayak, Tionghoa, Bugis, dan Madura hidup berdampingan. Dia bersekolah dengan banyak teman yang mempunyai latar belakang suku dan agama yang beragam.
Melewati 21 tahun pasca kejadian yang memilukan tersebut, Subro menceritakan bagaimana dia dan orangtuanya harus memulai hidup dari titik nol. Baginya beradaptasi dengan lingkungan baru tak semudah yang dipikirkan, dengan membawa rasa traumatik dengan embel-embel pengungsi. “Penghasilankeluarga kami dari pertanian seperti berladang, kebun kelapa, jeruk, kopi, dan ternak sapi. Jadi begitu harus mengungsi tidak ada yang bisa dibawa selain pakaian di badan.”
Menurutnya orang-orang yang mengungsi bukan Cuma etnis Madura. “Etnis Melayu yang memiliki hubungan dengan etnis Madura juga harus mengungsi. Termasuklah saya yang kemudian menikah dengan istri yang keturanan Melayu-Madura,” ucap Subro.
Terbiasa dengan lingkungan yang bermacam suku etnis dan agama, dalam proses panjang yang dilalui keluargaSubro membuat dia bisa berlapang dada menerima situasi itu untuk memulai beradaptasi. Sikap terbuka terhadap keberagaman yang diterapkan Subro, juga ditularkan dalam pola hubungan keluarga.
Latar belakang keluarga Subro juga asimilasi dari pencampuran etnis, seperti saudara neneknya yang menikah dengan orang Melayu sewaktu di Karimunting. Sedangkan Subropada tahun 2006 menikahi gadis yang berlatar belakang ayahnya Madura dan ibunya Melayu. Kepada anak-anaknya, Subro tak pernah menceritakan konflik etnis tersebut. Anaknya hanya tahu bahwa orangtua mereka berbeda suku, dan itu lumrah terjadi.
Subro membentuk perspektif bahwa etnis Madura berbasis agama yang kuat, sehingga menjadi benteng pandangan masyarakat yang beragama, bahwa musibah bisa datang kapan saja dalam bentuk yang bermacam-macam termasuk dengan konflik ini. Apabila masih ada pembatasan sosial, itu hanya akan memperparah konflik. Contoh kejadian yang sudah biasa di masyarakat, etnis Melayu mewanti-wanti untuk tidak menikah dengan etnis Madura, begitupun sebaliknya. Terdapat aturan adat yang tak tertulis atau mekanis mepertahanan keluarga, bahwa umumnya orang lebih nyaman apabila menikah dengan sesama etnis, atau bisa juga beda etnis tetapi minimal satu agama.
“Memang awalnya banyak rintangan, bahkan ada yang depresi, tetapi kemudian perlahan terlupakan setelah menemukan komunitas yang baru. Maka akan mencari hal yang baru dan perlahan-lahan mulai bisa melupakan peristiwa, kemudian menerapkan kebiasaan baru. Pelan-pelan mereka bertemu lewat aktivitasnya, seperti dengan adanya tradisi maulid dan lainnya. Nah, yang seperti ini bisa mengikis trauma dan ingatan-ingatan kelam masa lalu itu,” tutur Subro.
Dia mengingatkan, saat ini pada era digital, anak muda bisa melawan prasangka yang sebenarnya tidak mengerikan itu dengan bergaul dan membaca. Subro mengharapkan anak muda bergaul dengan banyak orang yang beragam etnis maupun agama, kemudian membaca berbagai referensi. Dia mengakui cerita konflik masih tetap berkembang dari mulut ke mulut. Isu konflik etnis masih sensitif diperbincangkan di Pontianak, walaupun secara sadar atau alami sudah banyak yang melawan itu.
Subro menilai pembatasan hubungan sosial di masyarakat hingga kini masih ada. Maka dari itu pendidikan penting ditingkatkan, karena tanpa adanya pendidikan maka orang akan mudah terprovokasi. “Mungkin anak-anak yang bersekolah di kota sudah terbiasa bergaul dengan keberagaman. Lalu bagaimana dengan anak-anak dikampung yang hidupnya berkelompok? Sulit menerima keberagaman dengan cerita yang beredar dari mulut ke mulut. Kemudian ditambah lagi dengan orangtua yang tidak bergaul, juga susah untuk menemukan titik terang menerima keberagaman,” katanya.
Subro menilai pemahaman orang Pontianak tentang keberagaman sudah bagus, apalagi dalam bertetangga. Ada pengecualian untuk hal-hal yang berbau politik terkadang muncul ketegangan juga. Jika dipandang secara umum, keberagaman di wilayah Pontianak terlihat bagus, seperti jika terjadi tindakan kriminal sudah tidak lagi didekat kandengan etnis tetapi kepada personalnya.
“Berarti Pontianak sudah pas untuk dikatakan rumah bersama, dan praktik baiknya harus tetap diekspose oleh teman-teman media. Selama ini di pikiran banyak orang bahwa etnis ini hanya mampu bekerja di sini, padahal tidak. Orang tersebut berpikiran seperti itu akibat pengaruh konflik,“ tutup Subro.
Narasumber Eka Hendry, Dosen IAIN Pontianak, Founder Center for Acceleration of Inter-Religious and Ethnic Understanding (CAIREU) mengajak Damai Negatif Menuju Damai Positif.
Dalam kasus konflik sosial antarkelompok etnis, Eka Hendri, berpendapat masalah tersebut diperlukan penjelasan yang panjang lebar agar kita bisa memahami konflik ini dengan adil. Secara singkat bisa digambarkan bahwa konflik 1999 adalah konflik sosial yang melibatkan kelompok etnis Melayu dan Dayak versus etnis Madura. Bentuknya konflik kekerasan, yang berbuntut pengusiran etnis Madura dari wilayah Kabupaten Sambas.
Akar konflik biasanya merupakan persoalan struktural yang mendasar seperti ketidakadilan, persaingan ekonomi, dan diskriminasi secara politik. Sedangkan pemicu (trigger) biasanya kasus-kasus kecil seperti tindakan kriminal (perkelahian). Konflik yang dapat melibatkan orang dalam jumlah besar (massive) biasanya, karena ada akar masalahnya pada persoalan-persoalan yang mendasar.
Menurut Johan Galtung, perdamaian ada dua jenis, yakni perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif adalah kekerasan sudah tidak terjadi lagi, namun sisa-sisa (residu) dari konflik kekerasan itu masih ada seperti rasa dendam, rasa takut, rasa tidak percaya danlain-lain. Biasanya kondisi ini disebut shimmering. Atau bisa juga diartikan damai negatif ini sebagai bentuk kekerasan sudah tidak terjadi, namun akar-akar penyebab terjadinya konflik masih ada. Sehingga dikhawatirkan kalau tidak diatasi, di masa depan bisa menyebabkan konflik kekerasan kembali. Sedangkan perdamaian positif adalah selain kekerasan sudah tidak terjadi, residu dan akar penyebab konfliknya juga sudah teratasi.
“Untuk bisa memahami permasalahan secara detail tidak bisa ujuk-ujuk kita membahas isu etnis, karena sangatlah komplek. Menyelami masa lalu dengan mengonstruksi atau mendesain masa depan untuk bercermin pada konflik agar tidak terulang,” jelas Eka.
Menurut dia banyak anak muda sekarang yang mulai mendapatkan cerita konflik antarkelompok etnis ini, dan tak jarang cerita yang didapatkan hanyalah sepenggal-sepengal saja akibat mengalami distorsi cerita. Pada kasus ini Eka melihat bukan distorsi, melainkan cara meng-cover untuk tidak membuka cerita secara gamblang. Cerita tentang konflik di masa lalu, jika kita memaparkannya secara “telanjang” (naked data), dikhawatirkan bisa menimbulkan stigma negatif kepada para pihak yang berkonflik. Makanya sekarang berkembang apa yang disebut peace journalism (jurnalisme damai).
“Ingatan itu bukan untuk membuka luka, tetapi ingatan itu dibuat jangan sampai terulang lagi. Jangan ada kesan menyudutkan satu kelompok. Sudut pandangnya harus luas dan mendalam.Yang namanya konflik maka dua-duanya adalah korban. Infrastrukturnya rusak, trauma yang mendalam dan rasa bersalah.Kalau pernah mukul orang, berarti secara psikologis akan merasakan trauma,” tambah Eka.
Mengenai penyebab konflik di Kalbar, dia menyatakan bahwa pada era sekarang maka terjadi pergeseran konflik terkait sumber daya alam (SDA). Jika dulu konflik sosial berbasis etnis, maka sekarang konflik sosial berskala konflik SDA yang relatif lebih kecil. Selain lebih kecil, skala konflik ini pun bersifat lokal dan rasional. Eka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konflik rasional, akar penyebab konfliknya dapat dipelajari dan bersifat pragmatis. Sehingga lebih mudah dicarisolusinya.
Dampak konflik ada yang terdampak langsung dan ada terdampak tidak langsung. Dampak langsung dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat. Dampak langsung dalam konflik seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta benda dan luka traumatik yang dalam. Dampak tidak langsung adalah residu dari konflik.Terutama bagi generasi setelah mereka yang terdampak konflik, seperti seperti perasaan traumatik, prasangka negatif kepada pihak lain
Untuk meminimalisir kekhawatiran dan ketakutan ini, maka tindakan yang dilakukan pemerintah dalam meredam konflik adalah dengan memberikan kesadaran terhadap masyarakat untuk melakukan perdamaian secara alamiah.“ Awal-awal datang ya tidak diterima. Namenye abis konflik, apelagi konflik yang sangat dalam nah itu ade rase takut dan rase khawatir.” tambah Eka.
Dengan melakukan perdamaian secara alamiah, maka keterbukaan dalam menerima kenyataan akan lebih luas. Seperti dengan mempermudah etnis Madura untuk memasuki wilayah Sambas, dengan memperbolehkan untuk berziarah ke makam keluarga. Walaupun dilakukan dengan proses yang memang lama, tetapi setidaknya sudah mulai perlahan meredam luka lama.
“Upaya perdamaian atau rekonsiliasi perlu didorong melalui wahana pendidikan damai dan pendekatan pembangunan. Prosesnya bisa secara alamiah dan bisa melalui berbagai rekayasa sosial seperti lewat wahana pendidikan damai, dan proses pembangunan (peace through development),” tutup Eka.
Narasumber Andy Yentriyani, founder Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA), Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2024, Dewan Etikuntuk forum pelayanan kekerasan perempuan, koordinator Asia Pasifik jaringan perempuan dan perdamaian. Andy takut kemungkinan konflik akan berulang.
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2020-2024, Andy Yentriyani, mengutarakan bahwa konflik nasional yang terjadi dibeberapa daerah diIndonesia terkait proses peralihan rezim yang otoriter. Perkembangan Bangsa Indonesia belum selesai, kerap masih mengusung situasi ketidakadilan warisan dari masa Orde Baru, dimana situasinyatidak bisa dikatakan bebas seperti sekarang ini.
Dari masa itu, masyarakat merasa penegakan hukum tidak pernah adil karena berpihak pada yang berkuasa. Ketika yang berkuasa ini direkatkan dengan sekelompok orang berdasarkan identitas tertentu, misalnya agama tertentu atau suku tertentu atau etnis tertentu, maka yang terjadi adalah gesekan sosial.
Pada banyak kasus konfliksuku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) juga ditemukan keterlibatan oknum lain, yang menyebabkan konflik lebih melebar. Misalnya di Kalimantan Barat, sebetulnya isu awal pencetus sangat kecil, tetapi berkembang menjadi konflik besar yang menghilangkan banyak nyawa. Jadi, kalau ditanya tentang situasi konflik pada tahun 1999 sampai 2000, sebetulnya yang paling utama penting adalah mempelajari faktor apa saja yang membuat konflik itu terjadi.
“Nah, sejauh mana dalam proses kita yang sudah hampir 22 tahun ini bisa menangani faktor itu? Jangan-jangan faktornya terus tumbuh dan ada faktor-faktor baru lagi, yang menyebabkan justru kita akan lebih tersulut dari waktu ke waktu. Jadi, besar kemungkinan maka konflik itu bisa berulang,” tandas Andy.
Di tingkat komunitas, residunya atau sisa-sisa konflik masa lalu yang tidak pernah tuntas menyebabkan masyarakat terbelah. Meski masyarakat mengetahui hal tersebut, tetapi banyak dari masyarakat juga yang tidak berhasil keluar, bahkan semakin kental dalam pengelompokan berdasarkan identitas masing-masing.
Struktur politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial, memungkinkan masyarakat semakin tebal dengan identitas sebagai kelompok yang berbeda satu dengan yang lain. Demikian juga dampak perkembangan global saat ini dimana banyak kelompok yang intoleran dengan kelompok lain. Kemudian pada level struktur negara, banyak sekali kebijakan yang tidak berhasil membangun tatanan baru yang mengajak masyarakat untuk memiliki ketahanan terhadap konflik sosial. Kebijakan tersebut, sebaliknya, justru memungkinan intoleransi semakin besar.
Upaya bersama untuk menghapus prasangka dan stigma setelah konflik, pada jajaran negara dan elitbanyak dilakukan melalui deklarasi perdamaian.Jika sedang terjadi ketegangan konflik SARA, deklarasi damai ini dimaksudkan sebagai pernyataan formal guna meredam kemungkinan konflik. Namun, pendekatan serupa ini bersifat adhoc, parsial, dan hanya pada permukaan.
Di tingkat masyarakat juga sudah banyak inisiatif di Kalimantan Barat, berupa upaya bersama membuat forum diskusi dan lembaga pendidikan yang menanamkan nilai keberagaman, berusaha untuk berkampanye merayakan kebhinekaan karena kita memang berbeda-beda. Di tengah-tengah perbedaan tersebut, masyarakat harus menyatukan diri untuk mencapai tujuan bersama.
“Kita harus membayangkan bahwa Indonesia lebih besar dari kelompok kita-kita. Tapi kan harus semuanya bisa hidup dengan sama nyaman dan sama nikmatnya. Tidak ada yang merasa karena ada sukunya atau agamanya atau jenis kelaminnya merasa disingkirkan atau dipojokkan,“ tegas Andy.
Menurut dia Pontianak sekilas memang baik-baik saja, tetapi dalam praktiknya ada juga yang mencerminkan sikap tidak menghargai dan menghormati keberagaman. Misalnya, seperti kasus pemilihan ketua Osis di SMA di Jakarta yang agamanya bukan mayoritas, juga terjadi di Pontianak meski tidak pernah jadi isu besar. Bisa dilihat juga pada pemilihan kepala daerah, ada masyarakat tertentu yang akan condong memilih kepala daerah karena kesamaan identitas semata. “Jadi kalau ditelisik lebih detail, maka di Pontianak ada persoalan-persoalan terkait kebhinekaan yang hidup di tengah masyarakat. Ada orang yang tidak mau bergaul atau ada yang tidak mau dipimpin dengan orang yang berbeda identitas dengan dirinya. Ada juga upaya-upaya untuk memprioritaskan dengan memfavoritkan suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lain, yang sebenarnya tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tegas Andy.
Menyikapi situasi tersebut, dia mengajak anak muda untuk memahami keberagaman melalui pengalaman. Andy pada tahun 1998 hidup di tengah konflik kerusuhan di Jakarta. Kemudian mengalami kenyataan bahwa saat kembali ke Pontianak, beberapa orang berkelahi membawa parang kemana-mana. Kemudian Andy kembali mengalami kejadian serupa di Ambon. Disana Andy melihat orang yang terpecah dalam konflik antar-agama. Dia melihat orang tinggal di pengungsian saat konflik, dengan kehilangan harta benda bahkan kehilangan orang yang dikasihi karena konflik.
“Semua itu membuat aku yakin, bahwa kita perlu sama-sama berusaha agar kejadian seperti itu tidak berulang. Ada satu titik dimana merasa seperti ‘cukuplah generasiku aja yang pernah mengalami’. Aku sedih banget melihat suatu kota yang cantik kemudian hancuratau ditinggalkan, dan membayangkan kalaulah kita menjadi orang yang diusir. Padahal kita lahir dan tumbuh disitu, kita cabut rumput disitu, tanam jagung disitu. Lalu kita tidak bisa sama sekali datang lagi untuk diam di tempat itu. Itu pasti sangat sedih sekali,” katanya lirih.
Menurut Andy, sebenarnya kita tidak perlu mengalami konflik secara langsung demi memahami dampaknya. Jangan seolah hanya dengan kesempatan terpapar dengan situasinya itu dan melihat penderitaan banyak orang secara langsung, barulahkita bisa membuat kita menyerapi situasi. Padahal, cukup dengan membayangkan saja jikalau diri kita yang ada di pihak mereka, bagaimana keadaan dan perasaan kita.
Andy mengingatkan bahwa kita tidak bisa bisa memilih untuk lahir di etnis atau komunitas mana. Juga, meski agama itu bisa dipilih, tetapi banyak dari kita agama itu sesuai dengan bagaimana kita dididik sejak kecil. Ada sebagian orang yang berpindah agama saat dewasa. Hanya jumlahnya tidak banyak dengan orang yang mengikuti agama dari keluarga dimana ia lahir. Dalam kondisi seperti ini masih saja karena etnis atau agamanya ada orang yang dikucilkan, ada yang menjadikan perbedaan itu sebagai alasan konflik atau alasan merendahkan orang lain, atau membuat orang lain merasa setengah bukan manusia.
“Jika kita yang ada ditempat mereka, sebagai orang yang dirugikan itu,gimana ya? Pertanyaan itu kali ya yang paling menyebabkan saya untuk bergerak, memikirkan kita bisa melakukan apa untuk masyarakat yang sebetulnya butuh ruang bersama membincang ini. Supaya orang bisa tumbuh kesadaran dan tumbuh kemauan untuk sama-sama jadi penyambung (antar-kelompok). Untuk bisa bergaul satu dengan lainnya, juga untuk membangun daya pikir kritis. Jika berpikir kritis, maka kita akan dapat secara mandiri mengkaji apakah semua suku itu terlahir jahat ?Kan semua suku tentu ada yang jahat dan ada yang baik. Itulah mengapa aspek pendidikan menjadi sangat penting untuk membangun komunitas dan untuk meningkatkan kepekaan,” tutup Andy.
Artikel ini ditulis oleh Feby Kartikasari, dalam rangka Fellowship Jurnalisme Keberagaman “Pontianak Rumah Bersama” yang diselenggarakan oleh Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) dan Jaringan Pontianak Bhinneka.