Oleh : Husnu
LAMA sekali lelaki itu tepekur memandangi setumpuk koran di depannya, pagi ini ia merasa tak berselera untuk sekedar beranjak dari trotoar. Sejak beberapa menit yang lalu ia hanya berkutat di sana, tak peduli pada lampu merah yang diam-diam mengutuk para pengendara nekat yang seperti tak sayang pada nyawa mereka, dengan seenak jidat menerobos lalu lintas. Padahal hanya butuh beberapa ratus detik menunggu lampu hijau menyala. Sebentar saja. Ia ingat pertanyaan anaknya kemarin “Ayah, kapan Ibu pulang?” Pulang? Nyilu hati si lelaki mendengar pertanyaan gadis kecilnya. Pertanyaan itu sudah tak ubahnya ujung jarum saja, menusuk-nusuk dada hingga tak nyenyak tidur ia dibuatnya. Gelisah seperti tak mau beranjak terus-menerus menggerogoti batinnya.
Sepanjang malam ia memikirkan jawaban apa yang hendak ia haturkan atas pertanyaan yang sebenarnya ia sendiri tak tahu jawabannya. Tak tahu? ia benar-benar tak tahu. Sejak sang perempuan memutuskan untuk pergi, karena alasan tak betah menghabiskan waktu mendekam di dalam rumah reot yang menjadi sarang segala macam tikus itu. Sejak saat itu pula ia menghilang tanpa kabar, “Aku tak tahan hidup denganmu” kata terakhir yang diucapkan sang perempuan sebelum akhirnya pergi meninggalkan sebersit luka di hati si lelaki. Waktu itu gadis kecil mereka masih amat belia untuk sekedar memahami apa yang tengah terjadi.
Jangankan menahan sang perempuan untuk tetap tinggal, menahan rasa sakit atas ucapannya saja si lelaki tak kuasa. Konon rasa sakit yang biasa menyergap hati seseorang bisa lebih berat dibanding seonggok baja ratusan ton. Kalian tak percaya? Akupun sebenarnya tak percaya.
Sejak kejadian itu, ia sering mengutuk takdir. Setiap kali memandangi gadis kecilnya, ia seperti sedang memandangi wajah sang perempuan dan ucapan terakhirnya “Aku tak tahan hidup denganmu” bah! Jika sudah begitu ia akan merasa tak percaya bahwa Tuhan adalah sebaik-baik pencipta skenario. Bukankah dahulu ia dan sang perempuan selalu melewatkan malam-malam dengan kata cinta? dan seharusnya itu menjadi awal dari akhir yang baik. Hah! Si Lelaki seperti tak tahu bahwa pagi yang cerah belum tentu melahirkan siang yang terang, pun sebaliknya bahwa pagi yang mendung belum tentu melahirkan siang yang kacau.
SATU kendaraan melaju kencang di depannya, namun seperti tak melihat apa-apa si lelaki tetap diam, yang berubah darinya hanya posisi kaki yang kini berselonjor. Selebihnya tak ada. Suasana hatinya bahkan kian kalut. Satu persatu memori lawasnya dengan sang perempuan mendadak bergelantungan di langit-langit kota, selak mengantri untuk diputar kembali, dan seakan tak dapat menemukan celah untuk mengelak, si lelaki menaruh pasrah pada kecamuk batinnya. Kenangan-kenangan itu terus bermunculan satu persatu.
“Bang, kalau anak kita perempuan, kita kasih nama apa buat dia?” kata sang perempuan dengan suara lirih pada suatu malam, si lelaki menatapnya dalam senyap sembari tersenyum, senyum sisa-sisa letih karena sepanjang hari ia berkutat di antara ribuan keping karet mentah. Ya, saat itu ia masih menjadi kuli di salah satu pabrik karet.
“Kalau perempuan, kita kasih dia nama, Keumala gimana?”
“Keumala, Bang?”
“Iya keumala.” Mereka berdua sepakat.
“Kalau lahirnya laki-laki?” tanya sang perempuan itu lagi
“Kalau laki-laki” Si Lelaki menggantung ucapannya sejenak, “Kita kasih dia nama, Sapri!” Berapi-api kalimat terakhirnya keluar. Membuat tawa Sang perempuan seketika meledak, mengalahkan bunyi jangkrik yang sayup-sayup terdengar dari balik dinding rumah mereka.
“Kenapa tertawa?”
“Sapri kan tetangga kita Bang.” Sang Perempuan menjawil mesra lengan si lelaki.. Tawa mereka pun kembali buncah.
“Bang..,” ucap sang perempuan kemudian di tengah hening yang mengantung di langit-langit kamar kumuh mereka.
“Iya?” si lelaki menatapnya, menunggu ucapan sang perempuan berikutnya.
“Kita kapan ya beli rumah baru? Kamar ini pengap sekali.” Suasana tiba-tiba seperti berubah seratus delapan puluh derajat. Mata si lelaki mendadak sayu, seperti tengah menerima kabar buruk nan tak tertanggungkan. Bibirnya tiba-tiba kelu. Tak tahu harus berkata apa.
“Tidur yuk sudah larut.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya, bukan jawaban.
LELAKI itu merubah posisi duduk dengan menarik kembali kedua kakinya yang berselonjor. Tatapannya kini lebih tajam menghujam setumpuk koran di depannya, seakan ia tengah menahan amarah, yang melonjak ingin keluar.
“Bang, seminggu lagi anak kita genap sembilan bulan.” Satu kali kecupan mendarat di kening berkeringat si lelaki. Ia baru saja pulang dari pabrik karet, tak berkata apa-apa ia hanya menyunggingkan sepucuk senyum, senyum kaku sisa-sisa lelah bercampur bau menyengat karet mentah.
“Kapan Abang gajian?” Setelah selesai mengelap keringat di wajah si lelaki, sang perempuan lalu berbalik menuju kursi reot di belakangnya, ia tak bisa berlama-lama berdiri, ia hamil tua. Alih-alih menjawab pertanyaan sang perempuan, si lelaki malah bergegas menuju kamar, ia baru saja dipecat karena sering mengganti waktu kerja dengan melamun. Mandor pabrik merasa ia tak layak lagi menjadi kuli di sana.
“Bang..! Abang..!!!” Belum sampai ia melangkah ke muka pintu tiba-tiba sang perempuan memanggilnya menjerit-jerit. Membuat si lelaki sontak berbalik badan dan mendapati sang perempuan mengejang memegang perut buncitnya. Janin di dalam perut sang perempuan rupanya sudah ingin keluar.
Tak butuh waktu lama si lelaki langsung melejit ke muka pintu rumah dan berteriak memanggil seseorang. Anaknya akan lahir! Apakah ia harus senang?
LELAKI itu masih bertahan dengan posisi duduknya yang semula, sorotnya kini tak hanya tajam tapi juga menusuk menghujam tumpukan koran di depannya, hampir terpejam. Kali ini ia tak hanya menyimpan sebuah amarah tapi juga sebersit rasa pedih. Tangannya refleks mencengkram ujung kaos partai yang ia kenakan, ada tulisan berbunyi BERSAMA KAMI RAKYAT SEJAHTERA yang terpampang di bagian punggung kaos itu.
“Bayi kau perempuan. Cantik seperti ibunya,” ucap dukun beranak itu, seraya mempersilakan ia masuk ke dalam kamar. Si lelaki hanya diam, semakin banyak anak maka semakin banyak pula rezeki, itu kata orang. Silelaki tak tahu apakah ucapan itu benar atau tidak. Yang pasti logikanya tak sedikitpun setuju. Baginya bertambah satu anggota keluarga, itu berarti bertambah pula satu mulut yang harus dikasih makan.
“Bayi kita perempuan Bang.Keumala.” sang perempuan tersenyum lemah saat melihat si lekaki menghampirinya. Senyum itu adalah senyum terakhir yang terbit dari bibir sang perempua. Sebab setelah itu memang tak ada lagi senyum yang menghias bibirnya. Setelahnya senyum itu seperti hilang dikikis waktu, tenggelam dan tak pernah kembali lagi.
Si lelaki ingat betul, sejak itulah malam-malam penuh cinta mereka, menjelma menjadi malam-malam hening yang menakutkan. Tangis si kecil Keumala tak lagi terdengar seperti alunan lagu merdu yang menentramkan, melainkan lebih mirip sebuah senandung pilu yang menyedihkan.
“Susu Keumala habis, Bang..,” kata sang perempuan suatu malam, Keumala kecil baru saja bangun dan menangis sejadi-jadinya.
“Ia haus, Bang,” ucap sang perempuan lagi.
“Sudah kau coba kasih ASI? Abang tidak punya uang” si lelaki panik. Lagipula tak ada warung yang buka tengah malam.
“Sudah dua bulan Abang kog tidak kunjung gajian.” sang perempuan mendengus kesal. Si lelaki menelan ludah pahit, mendengar kata “gajian” mendadak rasa kantuk si lelaki jadi hilang.
“Abang sudah lama dipecat.” lemah kata itu terucap dari bibir si lelaki.
“Abang di pecat?!” sang perempuan menghujam nya dengan tatapan tak bersahabat. Si lelaki mengangguk pelan. Sementara di samping mereka Keumala tak henti-henti menangis.
“Abang kenapa tak cari kerja lain?”Suara sang perempuan masih tinggi.
“Sudah, Abang sudah usaha, tapi tak berhasil.” si lelaki mengusap ubun-ubun Keumala, sembari bernyanyi pelan, berharap tangis bayi itu akan reda, namun ia tak berhasil.
“Abang itu kepala keluarga! Usaha..Bang!” Suara sang perempuan makin tinggi.
“Jangan keras-keras malu sama tetangga.”
“Harusnya Abang malu sama diri Abang sendiri bukan tetangga.” Tak mempan, suara sang perempuan malah makin keras. Hanya soal susu percakapan malam itu jadi amat panjang dan rumit.
Besoknya kabar buruk itu terjadi. Pagi-pagi sekali sang perempuan sibuk berkemas-kemas, satu koper berukuran agak besar telah siap ditenteng. “Mau kemana?” tanya si lelaki. Jangankan menjawab, menatapnya saja sang perempuan seperti tak sudi, ia masih sibuk mengemasi sisa-sisa pakaian yang hendak ia bawa.
“Mau kemana?” tanya si lelaki sekali lagi.
“Aku mau pergi!”
“Pergi? Kemana?”
“Mencari lelaki yang lebih mapan tidak pengangguran seperti Abang.” Deg! Tak percaya si lelaki atas apa yang baru saja di dengarnya. Ia pikir sang perempuan pasti hanya hendak menggodanya saja, atau barang kali ia masih kesal dengan kejadian semalam.
“Kau bercanda?”
“Aku sedang tak main-main, aku mau mencari lelaki lain.” sang perempuan menatapnya garang. Rona cantiknya tiba-tiba hilang.
“Tapi kau masih istri sahku.” Setengah dari kesadaran si lelaki masih tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang perempuan.
“Ceraikan aku sekarang, aku tak tahan hidup denganmu” Aduhai..! Teramat nyilu hati si lelaki mendengar kata terakhir sang perempuan, ia seperti telah menusuk dada si lelaki itu dengan belati, meski tak berdarah sakitnya amat tak tertanggungkan.
Sang perempuan menyisakan sebersit luka sebelum akhirnya melenggang pergi dan tak pernah kembali lagi. Sejak saat itu ia menghilang tanpa kabar apapun.
SOROT mata lelaki itu mendadak luruh, tatapannya layu dan beralih dari tumpukan koran itu. Tapi gemuruh di dadanya masih belum reda, pertanyaan gadis kecilnya kemarin, kembali tergiang, seperti ada tipe recorder yang merekam dan diam-diam menaruhnya di gendang telinga. Kapan Ibu pulang?
Sesungguhnya bukan hanya sekali gadis kecil itu bertanya hal serupa padanya, hampir setiap hari. biasanya lelaki itu hanya akan membayar rasa penasaran anak gadisnya dengan kata pendek yang lebih tepat disebut janji bual, besok Ibu pasti pulang, begitu selalu katanya. Tapi kemarin? Saat gadis kecil itu mengutarakan pertanyaanya, bibir lelaki itu mendadak kelu, tak bisa berkata apa-apa, ia tak tega jika harus terus menerus membohongi gadisnya dengan mengutarakan jawaban bodoh itu lagi. Jawaban yang hanya akan membuat gadis kecil itu menunggu sesuatu yang jelas-jelas tak akan pernah datang.
Entah sudah berapa ribu kata besok yang gadis kecil itu tuntaskan dengan sepucuk rasa kecewa karena yang di tunggu tak kunjung datang. Dulu ibunya bilang bahwa ia hendak pergi mencari laki-laki lain yang lebih mapan dan itu berarti ia tak akan pernah lagi kembali.
LELAKI itu menghela napas. Menatap lagi setumpuk koran di depannya. Refleks ia mengeja tulisan cetak tebal yang terpampang di halaman depan salah satu Koran itu, Petugas berhasil grebek warung remang-remang lalu matanya melirik foto di sudut halaman. Seketika itu ia tercekat, dan buru-buru meraih lembar Koran itu. Salah seorang dalam foto itu? ia mengenalnya. Perempuan itu.
“Pak korannya saya borong.” Suara itu membuat ia kaget. Seorang pemuda berpenampilan rapi telah sejak beberapa detik yang lalu berdiri di samping si lelaki. Ia menjulurkan dua lembar uang bergambar Bung Karno dan Bung Hatta sembari tersenyum.
Â