Keadilan gender telah menjadi salah satu isu penting dalam diskusi intelektual Islam dan feminisme modern. Dua pemikir terkemuka, Fathimah Mernissi dan Nawal El Saadawi, menawarkan perspektif yang mendalam terkait isu ini. Meskipun keduanya berasal dari latar belakang yang berbeda, mereka berbagi tujuan yang sama: memperjuangkan kesetaraan gender di masyarakat, khususnya di dunia Islam.
Pandangan Fathimah Mernissi
Fathimah Mernissi, seorang sosiolog dan feminis asal Maroko, mendasarkan analisisnya pada sejarah dan teks-teks Islam klasik. Dalam karyanya seperti Beyond the Veil dan The Veil and the Male Elite, Mernissi mengkritisi interpretasi patriarkal terhadap ajaran Islam yang sering kali digunakan untuk membatasi peran perempuan. Menurut Mernissi, banyak teks agama telah disalahgunakan oleh kaum laki-laki untuk mempertahankan dominasi mereka atas perempuan.
Mernissi menyoroti pentingnya membedakan antara Islam sebagai agama dan budaya patriarkal yang berkembang di masyarakat Muslim. Ia berpendapat bahwa Islam, dalam esensinya, tidak mendukung ketidakadilan gender. Sebaliknya, Islam membawa pesan kesetaraan, sebagaimana tercermin dalam berbagai ayat Al-Qur’an yang mengakui hak-hak perempuan dalam pendidikan, kepemimpinan, dan ekonomi. Namun, penafsiran yang bias gender sering kali membatasi perempuan. Salah satu contohnya adalah interpretasi tentang hijab, yang menurut Mernissi mencerminkan kontrol terhadap tubuh perempuan sekaligus ruang publik mereka.
Pandangan Nawal El Saadawi
Berbeda dengan Mernissi, Nawal El Saadawi, seorang dokter dan penulis asal Mesir, mengambil pendekatan yang lebih radikal terhadap isu keadilan gender. Dalam karyanya seperti The Hidden Face of Eve dan Woman at Point Zero, El Saadawi mengecam struktur sosial, budaya, dan agama yang menurutnya menjadi akar dari ketidakadilan gender. Ia mengkritik praktik-praktik seperti mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), perkawinan paksa, dan kekerasan domestik yang masih lazim di banyak negara Arab.
El Saadawi percaya bahwa ketidakadilan gender adalah hasil dari sistem patriarki yang mengakar dalam budaya Arab dan diperkuat oleh interpretasi agama yang konservatif. Ia berpendapat bahwa untuk mencapai keadilan gender, perempuan harus bebas dari eksploitasi dan penindasan, baik oleh sistem agama maupun negara. Selain itu, El Saadawi menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan, karena perempuan yang terdidik memiliki peluang lebih besar untuk melawan diskriminasi dan menuntut hakhaknya.
Kesimpulan
Fathimah Mernissi dan Nawal El Saadawi, meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, sama-sama memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman tentang keadilan gender di dunia Islam. Mernissi menekankan pentingnya reinterpretasi teks agama, sedangkan El Saadawi lebih fokus pada penghapusan struktur patriarki yang melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Keduanya menunjukkan bahwa perjuangan untuk keadilan gender tidak hanya membutuhkan perubahan dalam pemikiran, tetapi juga dalam sistem sosial dan budaya yang ada. Karya-karya mereka menjadi inspirasi bagi generasi perempuan untuk terus memperjuangkan hak-haknya di berbagai aspek kehidupan.
Penulis: Indah Allawiyah
Editor: Aghisna