Wartaiainpontianak.com – Yayasan Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan web seminar atau webinar melalui zoom meeting dengan tema “Membaca Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dalam Perspektif Anak Muda di Pontianak”, pada Kamis (04/11).
Pada kesempatan kali ini, webinar dipandu oleh Lulu Musyarofah yang merupakan aktivis dari SAKA. Untuk kata sambutan, disampaikan oleh Satyawanti Mashudi yang merupakan Komisioner dari Komnas Perempuan. Tepat pada pukul 19:10, Satyawanti menyampaikan kata sambutan. Satyawanti menyampaikan bahwa setiap penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak memuaskan. Hal ini terjadi karena payung hukum yang tidak kuat dan tidak ada proses pemulihan korban. Dengan adanya RUU PKS maka diharapkan akan memenuhi hak korban. Seperti contoh kasus di Aceh, hanya terdapat hukuman cambuk tetapi tidak ada pemulihan terhadap korban. “Kasus pengulangan kekerasan seksual akan terus terjadi apabila tidak ada payung hukum dan proses penyembuhan. Luka itu akan terus membuka sanubari,” tegas Satyanawati.
Untuk narasumber pertama adalah Arniyanti yang merupakan Aktivis Perempuan Pontianak. Saat memaparkan materi, Arni menampilkan Power Point. Arni menyampaikan bahwa RUU-PKS selalu saja menjadi sorotan oleh teman-teman wartawan. Pernah juga terjadi polemik aksi di Pontianak tahun 2019 dalam rangka menuntut kebijakan RUU-PKS. Arni sering sekali mendengar bahwa RUU-PKS “katanya” pro terhadap Lesbian Gay Bisexsual Transgender (LGBT), punya kaum ‘feminis liberal’, dan melegalkan aborsi. Padahal, kalimat “katanya” hanyalah ketidakpastian. Arni menambahkan, “Bahkan aku yang bukan orang hukum, kemudian aku membaca draf undang-undang, maka aku harus didampingi orang hukum untuk memahaminya.”
Padahal, ide tentang RUU-PKS bermula saat meningkatnya kejadian kekerasan seksual pada tahun 2001-2011. Sepanjang tahun tersebut, tercatat bahwa 25% kekerasan seksual terjadi pada perempuan yang setiap harinya terdapat 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa setiap jam ada perempuan yang menjadi korban. Maka dari itu, Komnas Perempuan menyebut bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual. Menurut Arni, ada dua kacamata untuk melihat adanya RUU ini yaitu menyamakan persepsi dan membuat tandingan argumentasi lain. “Mari membenahi bersama, kaji bersama, mana yang harus dibenahi. Harapan bersamanya agar RUU-PKS akan menjadi payung hukum untuk keadilan yang tak pernah didapatkan,” tegas Arni.
Narasumber selanjutnya yaitu Sofiyan Lubis selaku Menteri Komunikasi dan Informasi Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Sofiyan menyampaikan bahwa Mahasiswa IAIN Pontianak Pontianak pernah menyampaikan aspirasi penolakan RUU-PKS. Dalam sejarah, IAIN Pontianak melakukan aksi terbanyak tahun 2019. Saat itu, banyak permasalahan yang menjadi tuntutan sehingga RUU-PKS waktu itu ditolak. Belum lagi, ketika itu banyak mahasiswa yang belum paham mengenai RUU-PKS dan hanya mengikuti alur isu hoax yang beredar. Fakta lapangan, banyak mahasiswa yang mendapat perlakuan kurang baik oleh beberapa oknum di kampus. “Solusinya, untuk memahami ini tentunya Komnas Perempuan atau lembaga yang menangani isu perempuan berkolaborasi dengan DEMA atau BEM di bidang perempuan dengan membuat komunitas binaan,” tambah Sofiyan.
Dari narasumber terakhir, Dian Lestari selaku aktivis dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) menyampaikan untuk jangan mudah percaya dengan kalimat “katanya”. Karena dengan kalimat tersebut terdapat arah yang membingungkan sehingga akan macet di tengah jalan. Akar pemahaman kita semua terkait RUU-PKS ini akan berputar sehingga tidak akan menuju kepada pemikiran yang kritis. Lakukanlah berupa kampanye, yang di mana kita akan bersama-sama mencari hal yang dibutuhkan. Seperti dengan pertanyaan yang demikian terhadap korban, ‘apakah kamu menikmati melakukan hubungan ini?’, nah, itu akan menjadi beban untuk korban. Hal-hal seperti itu tentu harus dibicarakan, dipelajari dan dikampanyekan. “Mari kita berbicara, seandainya teman atau keluarga atau bahkan diri kita sendiri yang berada di posisi tersebut. Hal apa yang bisa menyembuhkan dan melindungi. Itu yang harus diperhatikan oleh banyak orang.” tutup Dian.
Reporter : Feby Kartikasari
Editor : Mei Hani Anjani